Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kerumunan di Masjidil Haram yang Dilupakan Amien Rais

26 Mei 2019   04:18 Diperbarui: 26 Mei 2019   04:27 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman Masjidil Haram padat hingga ruang dalam. Foto | Dokpri

Menyaksikan kerumunan manusia mulai halaman hingga memadati ruang dalam Masjidil Haram membawa diri penulis membayangkan peristiwa 22 Mei 2019 di Jakarta.

Kala berada di masjid terbesar di dunia ini, hati ini demikian damai. Terlebih saat Ramadan 10 hari terakhir ini. Namun tak dapat dihindari bahwa kabar kekacauan yang dibaca penulis melalui media sosial telah membuat diri jadi prihatin.

Amien Rais ketika mengenakan kain ihram. Foto | Okezone
Amien Rais ketika mengenakan kain ihram. Foto | Okezone
Kerumunan manusia - yang berasal dari berbagai negara pada Ramadan ini - hadir di tempat itu semata untuk ibadah. Mereka datang dengan biaya tidak ringan, tenaga dan waktu dikerahkan semata untuk mencari ridho Allah semata.

Tak ada kerusuhan dalam kerumunan ini. Sebab, hati dan jiwa manusia-manusia itu sudah diikat dengan iman yang kuat. Kalaupun ada petugas (askar) jumlahnya tak terlalu banyak. Petugas hanya mengatur dan memberi arahan lalu lintas orang.

Dengan bahasa "tarsan", askar mampu mengendalikan massa (kerumunan) tadi tanpa harus menimbulkan benturan antar kelompok bangsa-bangsa yang hadir di Masjidil Haram. Jangankan menyaksikan penjarahan toko, yang ada justru sebaliknya para manajer hotel dan pengusaha membagi makanan dan bersedekah di pinggir jalan.

Menyaksikan kerumunan manusia yang demikian damai tersebut, lantas hati penulis dipenuhi tanda tanya. Salah satunya, mengapa pada saat yang sama, pada Ramadan ini, bulan yang disucikan umat Muslim harus dinonadai dengan perbuatan busuk. Jakarta rusuh karena perbuatan tangan kotor.

Boleh jadi konsentrasi umat saat Ramadan ini untuk beribadah ikut terganggu. Ibadah puasa pun ditinggalkan. Bisa jadi pula aktivitas ekonomi ikut terkena imbasnya, setidaknya rakyat kecil yang dagangannya dijarah di kawasan Tanah Abang dan di berbagai tempat lainnya. Ramadan telah tercederai.

Ruang tawaf pun sesak. Foto | Dokpri
Ruang tawaf pun sesak. Foto | Dokpri
Lantas, penulis semakin yakin, sungguh benar bahwa kerusuhan tersebut adalah bagian dari skenario (lama) yang pernah didengungkan Pak Tua, sebutan lain untuk Amien Rais, yang jauh hari mendengungkan people power.

Saat peristiwa itu terjadi, memang benar muaranya telah mengarah kepada pihak aparat keamanan. Pak Tua memang sudah membangun narasi antipati terhadap pemerintahan yang sah. Kala hal ini terjadi, kurban berjatuhan, ia pun seolah menutup mata dan menyalahkan aparat.

Hmmm. Lepas tanggung jawab. Padahal rakyat yang dikelabui berunjuk rasa dan dibayar itu punya tanggung jawab, setidaknya memberi nafkah untuk anggota keluarganya.

Secara sosiologis, Pak Tua yang menyandang gelar akademi mentereng sebagai guru besar itu tentu paham bahwa kerumunan di sini dapat dimaknai sebagai orang banyak yang dapat menimbulkan sifat panik, emosional, bahagia/senang, serta sifat yang mencerminkan perilaku tidak bermoral di mata masyarakat.

Nah, kepiawaiannya dalam retorika di berbagai forum dan memutar balik kata, sejatinya bagi Pak Tua adalah sebuah permainan. Bisa jadi peristiwa yang terjadi itu dimaknai sebagai kenikmatan dalam hidupnya.

**

Jika kita mau membuka diri, jujur dan mengedepankan logika, sayogianya Pak Tua sudah harus mengambil posisi sebagai yang sebenar-benarnya orang tua. Kalau bisa sih mengasuh cucuk. Atau lebih kerennya menjadi penasihat, memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa.

Realitasnya, Pak Tua lebih suka menyaksikan kerumunan manusia berteriak dan terprovokasi oleh "api nafsu syahwat politik" dan mengorbankan rakyat kecil.

Tawaf di lantai dua Masjidil Haram. Foto | Dokpri
Tawaf di lantai dua Masjidil Haram. Foto | Dokpri
Ia, dengan kepiawaiannya memainkan kata, rakyat di "akar rumput" dimobilisasinya hanya untuk memuaskan kelompok dan dirinya.

Jujur saja orang tua mana pun jika tak diingatkan memang sering marah. Padahal ia lupa. Apa lagi saat menyaksikan "pertarungan" di layar televisi. Kita saja pun demikian saat menyaksikan sebuah pertandingan final sepakbola Piala Dunia, misalnya.

Namun sebagai orang yang pernah memimpin organisasi kemasyarakatan Islam terbesar, termasuk jadi "komandan" partai "surga", Pak Tua atau Amien Rais pernah merasakan ikut larut dalam kerumunan manusia di Masjidil Haram.

Di sini, ketika mengenakan pakaian ihram, tentu Pak Tua sadar betul akan larangan-larangannya. Alangkah eloknya jika larangan itu kembali diingat-ingat sebagai bekal menghadapi hari kematian.

Sayogianya Amien Rais memandang kerumunan manusia bukan diarahkan seperti yang diskenariokan, membangun people power, tapi mengarahkan kumpulan manusia yang ikhlas untuk mencapai ridho Allah saat Ramadan ini. Ya, seperti kala berada di Masjidil Haram yang dimuliakan Allah.

Pak Tua, Amien Rais, kunantikan keikhlasannya untuk melakukan Taubatan Nasuha.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun