Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gara-gara Lebaran Anak Yatim, Mertua dan Mantu "Ribut"

14 September 2018   09:17 Diperbarui: 14 September 2018   10:30 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Alumni FH'20 Usakti tengah menyantuni anak yatim. Foto | Dokpri

"Besok lebaran anak yatim piatu. Kita siap-siap memberi santunan, memperhatikan anak yang menghadapi kesulitan: ekonomi, pendidikan dan kesehatan."

"Nggak ada tuh yang namanya lebaran anak yatim. Idul Adha dan Idul Fitri. Itu aja lebaran dalam Islam. Jangan nambah-nambahi. Nanti bisa membuat binggung orang lain," pinta sang mantu begitu mendengar dari dapur pernyataan mertuanya dalam obrolan di ruang tengah.

Lantas sang mantu mengingatkan mertuanya dengan nada tinggi. Katanya: "Kalau lebaran dalam Islam dapat ditambah-tambah, nanti berpotensi orang seenaknya mengatakan lebaran orang miskin, lebaran kaum dhuafa. Sekarang saja sudah ada yang berani menyebut lebaran kuda."

Mendengar kalimat bernada tinggi, sang mertua terlihat menarik nafas. Ia menahan diri untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Bahkan mengeluarkan sepatah kata pun tidak. Mulutnya yang biasa meluncurkan kalimat nasihat seolah terkunci.

Ia nampaknya menyadari jika beradu argumentasi dengan sang mantu 'cerewet' itu tak bakal menang. Pasalnya, selain pendidikannya secara akademis kalah tinggi, juga wawasan pergaulannya luas. Maklum, kedudukannya di kantor adalah pejabat. Punya anak buah banyak, berpendikan tinggi pula.

Sedang sang mertua, hanya berpendidikan sekolah dasar yang di zaman old atau era penjajahan Belanda disebut sekolah rakyat. Yang dibanggakan oleh sang mertua adalah pengalaman hidup, banyak belajar di majelis ta'lim dan mendengarkan para ustazah.


Selain itu, ia banyak bergaul dengan orang-orang tua dan ustazah yang mempunyai wawasan agama tergolong lumayan. Hanya saja sang mertua tidak pandai menjelaskan kembali setiap pendapat dari orang-orang berilmu tadi. Tapi, terpenting, ia sungguh menghayati nasihat dan petuah para orang tua sebayanya yang kebanyakan sudah berusia di atas 70 tahun ke atas.

Sambil berbisik, sang mertua menyebut bahwa yang dimaksud lebaran anak yatim adalah 10 Muharam 1440, yang pada penanggalan masehi jatuh pada 20 September 2018. Disebut lebaran anak yatim karena pada tanggal tersebut dianggap oleh umat Islam sebagai hari besar meski tidak dirayakan seperti Idul Adha atau Idul Fitri. Disebut demikian lantaran  dilatar-belakangi oleh peristiwa penting.

Foto bersama anak yatim di rumah salah seorang dermawan. Foto | Dokpri
Foto bersama anak yatim di rumah salah seorang dermawan. Foto | Dokpri
**

Yang dipahami sang mertua, peristiwa penting itu antara lain, seperti Nabi Adam a.s diterima tobatnya. Kala masih di surga, Nabi Adam a.s memakan buah larangan (khuldi) sehingga ia bersama isteri (Hawa) di turunkan ke dunia. Nabi Idris a.s memperoleh derajat yang luhur lantaran memperhatikan dan memperhatikan malaikat dalam mengatur matahari. Berkat doa Nabi Idris a.s malaikat dapat menjalankan tugasnya.

Perisitwa lain, Nabi Musa a.s mendapat anugrah kitab Taurat ketika beliau berada di bukit Tursina (Sinai). Dapat wahyu tanpa perantara malaikat Jibril. Kemudian Nabi Ibrahim a.s terhindar dari fitnah Raja Namrud ketika menghancurkan berhala di kuil, tempat pemujaan Namrud.

Juga peristiwa Nabi Nuh a.s turun dari perahu penyelamat bersama umatnya yang beriman, terhindar dari bah dan topan dahsyat. Dan, juga Nabi Yusuf a.s dibebaskan dari penjara Mesir ketika dituduh Zulaiha hendak memperkosanya. Nabi Ya'qub a.s sembuh dari penyakit mata, Nabi Yunus a.s keluar dari perut ikan, Nabi Sulaiman a.s memperoleh istana indah hingga Nabi Daud a.s disucikan dari dosa.

Terakhir Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya mendapatkan anugrah dan kewaspadaan dalam menetapi hidayah Alquran.

Bila menelaah peristiwa-peristiwa tersebut, para nabi memperoleh anugrah dari Allah. Maka, boleh jadi 10 Muharam oleh umat Islam dimaknai sebagai hari kemenangan bagi para nabi. Dan mengingat demikian pentingnya peristiwa pada 10 Muharam itu, umat Islam disunahkan atau diutamakan untuk menjalankan ibadah puasa dan memperbanyak tafakur serta ibadah lainnya.

Mendengarkan tausyiah dari KH Najmuddin bersama anak yatim. Foto | Dokpri
Mendengarkan tausyiah dari KH Najmuddin bersama anak yatim. Foto | Dokpri
**

Sejatinya bulan Muharam adalah salah satu dari Asyhurul hurum (bulan-bulan  haram) yang dimuliakan Islam. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu (at-Taubah [9]: 36.

Empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) bulan Dzulqai'dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, (4) Rajab. Disebut bulan Haram karena pada bulan dilarang melakukan: peperangan dan perbuatan haram.

Nah, bagaiman dengan puasa di bulan haram ?

Kisahya begini. Seperti diriwayatkan Ibnu Abbas, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau menyaksikan kaum Yahudi berpuasa Asyura (10 Muharram). Lalu, beliau bertanya; "Hari apakah ini sampai kalian berpuasa?" Mereka menjawab, ini adalah hari yang agung. Saat itu, Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s dan kaumnya, Allah menenggelamkan Fir'aun, lalu Nabi Musa berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah, dan kami pun berpuasa."

Kemudian Rasulullah berkata: "Kami lebih berhak dan lebih utama kepada Musa daripada kalian." Lalu, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. (HR. Bukhari, 3727, Muslim, 2714).

Lantas, bagaimana lebaran anak yatim yang dimaksud mertua dari cerita di atas?

Dengan suara perlahan, sang mertua menyebut bahwa yang dimaksud yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya ketika anak bersangkutan belum mencapai usia balig. Anak tersebut, dalam Islam, memang punya kedudukan tersendiri karena Rasulullah demikian besar perhatiannya.

Di berbagai tempat, saat 10 Muharram, banyak dermawan memberi santunan kepada anak yatim. Hal itu dimaksudkan agar mereka dapat melangsungkan hidupnya. Kebiasaan memberi santunan, yang oleh sang mertua juga dimaksudkan pada Lebaran anak yatim, sungguh terpuji.

Tapi, ke depan, tentu tidak sampai di situ saja. Para anak yatim itu masih membutuhkan bimbingan sampai mampu mengarungi bahtera kehidupannya sendiri. Bagi kita, menyantuni anak yatim adalah suatu kewajiban. Terlebih di Lombak, banyak anak yatim menderita lantaran ditinggalkan orang tuanya meninggal terdampak gempa bumi, belum lama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun