Jika anda ingin mendengar suara sekeras bom, datanglah pada saat Ramadan ini ke tepi Sungai Kapuas, Pontianak. Dentuman meriam karbit di tepi Sungai Kapuas bisa 'dinikmati' dalam suasana ibadah puasa. Ya, sambil uji nyali mendengarkan keras suara meriam tersebut.
Sambil ngabuburit, anda juga bisa membantu anak-anak yang bermukim di tepi Sungai Kapuas dengan memberikan sekantong plastik karbit. Boleh satu kilo, setengah kilo atau ukuran berat lebih dari hitungan kilogram pun sangat senang diterima. Makin banyak karbit disumbangkan, wuih mereka akan diterima dengan suka cita.
Karena menyumbang karbit dalam jumlah besar, lebih dari sekarung ukuran 10 kg, penulis tidak lagi dipanggil Engkoh. Tapi, Pak Engah yang baik hati. Wuih, hati terasa berbunga-bunga dipuji-puji. Padahal sih, sangat senang menyaksikan mereka bermain karbit lantaran di Jakarta tidak ada. Untuk permainan meriam karbit dari bambu petung saja, di pinggir kota Jakarta, nyaris tidak bisa dijumpai lagi.
Anak-anak di kawasan ini punya kebiasaan memainkan meriam karbit. Beberapa tahun silam, memang penulis punya kebiasan menyumbangkan karbit kepada 'budak-budak', maskudnya para bocah berwajah ceria, yang memainkan meriam karbit.
Ya, hitung-hitung sambil jalan-jalan. Menikmati jernihnya air sungai dari atas gertak. Maaf, bukan gertak (sambal) dalam pengertian orang Betawi. Artinya gertak bagi warga Pontianak adalah jembatan terbuat dari kayu (belian) di atas permukaan air.
Nah, meriam karbit dibuat dari kayu bulat besar yang dibolongi di bagian tengahnya. Batang meriam karbit dari kayu sepanjang hingga 10 meter dengan diameter sekitar 1 meter itu diikat dengan rotan. Meriam diletakan di atas gertak. Para bocah meletakan meriam karbit itu bisa 3 hingga 9 buah. Kala diledakan, dilakukan dengan cara menyulut seperti juga meriam terbuat dari bambu, dilakukan secara bergantian.
Para perakit meriam sangat memperhatikan keselamatan pengguna. Karenanya, digunakan rotan  untuk menahan tekanan dan getaran akibat ledakan saat api menyulut lelehan karbit di dalam ruang bakar meriam itu. Suara ledakan yang membahana dan bersahutan di kedua tepi Sungai Kapuas inilah yang menjadikan meriam karbit Pontianak ini sangat unik.Â
Jika dibandingkan dengan meriam si Jagur yang di letakan di alun kota Tua, Jakarta, ukuran besar dan panjangnya sangat jauh berbeda. Bola jadi pula, karena meriam ini, ada warga setempat mengaitkan dengan tebentuknya Kesultanan Pontianak.Â
Ceritanya, kala rombongan kesultanan datang untuk mendirikan kerajaan di tepi Sungai Kapuas, banyak kuntilanak mengganggu. Warga setempat tak mau kalah dengan mahluk setan itu. Maka, dibuatkan meriam karbit -- yang umumnya diambil dari kayu Belian (kayu tahan panas, tak mudah keropos) -- untuk mengusir kuntilanak yang mengganggu tadi.
Karenanya, kota ini kerap dikaitkan dengan sebutan kota hantu. Hehehe. Tapi, saya ngga' takut tuh. Pontianak, sekarang, kotanya indah. Kulinernya pun tak kalah. Apa lagi buah durian dan buah duku (orang setempat nyebutnya langsat), wuih enaknya 'selangit'. Saat Lebaran, dapat dipastikan kue lapis legit nongol. Tersaji di tiap rumah warga.
Saya tidak bermaksud memuji, tapi karena ini realitas, ya perlu disampaikan. Apa lagi, saat bertandang  lebaran, kunjungan kita dapat balasan. Itulah Indahnya Indonesia.