Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradoks Hari Kasih Sayang yang Aku Alami

20 Februari 2018   08:56 Diperbarui: 7 Maret 2018   10:55 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota keluarga Surodi Kraman tengah melepas rindu. Foto | Dokpri

Sedih. Di dada terasa sesak. Ingin rasanya menjerit sebagai ungkapan rasa tidak senang. Aku hanya mampu terdiam. Tetap berusaha tenang sambil menanti beberapa anggota keluarga yang diundang tiba di kediaman yang sudah ditentukan.

Kisah kasih di hari kasih sayang terasa paradoks dengan senyatanya. Sebab, momen itu seperti bukan milik para orang tua meski sejatinya berlaku universal. Hari kasih sayang sepertinya tidak boleh hadir di zaman now. Orang tua yang dikenal sebagai lanjut usia atau lansia sepertinya tidak layak merayakannya. Sebab, orang lansia masih dipandang sebagai penunggu rumah, tidak perlu banyak jalan-jalan. Katanya, nanti masuk angin dan kesurupan.

"Kan, masih mudah pakai minyak wangi. Sudah tua, pasti pakai minyak angin," gitu celoteh seorang anak menyinggung rasa para orang tua.

Jangankan bertandang ke kediaman rekan sebaya untuk bersilaturahim, memperkuat persaudaraan, saat sudah tua jarang dilakukan. Orang lansia, kata anak zaman now, harus beribadah di rumah saja. Terkait hal ini, bisa jadi pepatah memang tak pernah bohong. "Orang tua kaya, anak jadi raja. Anak kaya, orang tua jadi pembantu". Realitas, orang tua kebanyakan diposisikan di bawah.

Pengurus tengah berdisuksi. Foto | Dokpri
Pengurus tengah berdisuksi. Foto | Dokpri
Masih ada yang memandang orang tua sebagai barang rongsokan, barang tak terpakai lagi. Kalau untuk tentara disebut sebagai laskar tak berguna. Barang yang cukup bercokol di pojok rumah. Kadang, posisinya pun disembunyikan karena tidak elok dilihat anak muda, bocah zaman now, yang kini makin menyibukan diri dengan gawai dan mengabaikan silaturahim.

Sedih. Di dada ini terasa penuh beban. Ingin rasanya dada ini 'meledak' menyaksikan lemahnya komunikasi antarsesama. Perbedaan kadang diangkat di kalangan anggota keluarga. Bukan hanya soal perbedaan agama dan suku, perbedaan pilihan soal politik hingga warna baju pun tidak lagi dipandang sebagai keindahan negeri. Perbedaan-perbedaan yang ada itu tidak lagi dirajut. Malah, diabaikan hingga kabar duka kerap mengemuka. Yaitu, perceraian yang ada. Satu sama lain saling menjauh.

Sedih. Kala anggota keluarga diundang tak datang. Makanan banyak terbuang, mubazir. Tuan rumah merasa tertekan rasa. Lalu, rasa itu terbawa ke relung hati. Padahal banyak kata ingin dilontarkan. Susunan untaian kata nan rapi dan indah gagal digelontorkan. Pasalnya, karena sanak famili tak datang untuk mendengar.

Adakah Hari Kasih Sayang itu memberi cahaya bagi orang lansia?

Sudah lama pertanyaan itu kusimpan. Sudah lama pula ingin kuungkapkan kepada khalayak ramai. Dan, akhirnya aku bersyukur, masih ada wadah kudapati di "K".

***

"Mbak Sus, masaknya jangan terlalu banyak," pinta isteriku kepada kakak ipar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun