Setelah bayi lahir dengan kanvas temperamen yang lebih reaktif, babak kedua yang jauh lebih menentukan dimulai. Di sinilah psikologi mengambil alih panggung utama. Ibu yang belum selesai dengan kebenciannya, tanpa sadar melakukan proyeksi: sebuah mekanisme pertahanan di mana ia "melemparkan" sifat-sifat negatif musuhnya ke sang anak. Analogi sederhananya, ibu memiliki setumpuk "sampah emosional" yang berat. Karena tak sanggup menanggungnya, ia memindahkannya ke "keranjang kosong" milik bayinya.Â
Selanjutnya, bias konfirmasi mulai bekerja. Ini adalah kecenderungan kita untuk hanya mencari bukti yang mendukung keyakinan kita. Ibu kini seolah memakai "kacamata kebencian". Tangisan normal bayi diartikan sebagai "manipulasi", persis seperti orang yang dibencinya. Dalam penelitian berjudul "Mothers' and Fathers' Negative Responsibility Attributions and Perceptions of Children's Problem Behavior" yang terbit di jurnal Personal Relationships (2013), peneliti J.A. Nelson dan timnya menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki atribusi negatif (meyakini anak berniat buruk) cenderung melaporkan lebih banyak perilaku negatif, membuktikan betapa kuatnya persepsi dalam membentuk realitas.Â
Puncaknya adalah ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecy). Konsep yang dipopulerkan oleh sosiolog Robert K. Merton dalam bukunya Social Theory and Social Structure (pertama kali terbit tahun 1949) ini menjelaskan bagaimana sebuah keyakinan yang salah pada akhirnya menjadi kenyataan karena perilaku kita. Ibu yang sudah yakin anaknya "keras kepala" akan memperlakukannya dengan curiga dan memberinya label. Anak, yang sangat peka, akhirnya belajar bahwa untuk mendapatkan perhatian, ia harus memainkan peran yang diberikan kepadanya. Ia pun benar-benar menjadi keras kepala, bukan karena takdir, tetapi karena "skenario" psikologis yang dipaksakan.Â
Di sinilah sebuah kecerdasan krusial terluka: kecerdasan intrapersonal. Diperkenalkan oleh psikolog Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri---emosi, motivasi, kekuatan, dan kelemahan kita.
Anak mengembangkan kecerdasan ini dengan melihat dirinya dipantulkan oleh orang tua. Namun, ibu yang melakukan proyeksi menjadi "cermin retak". Alih-alih memantulkan, "Kamu sedang sedih," cermin itu justru memantulkan, "Kamu cengeng dan manipulatif." Anak pun belajar untuk tidak memercayai perasaannya sendiri dan gagal membangun fondasi wawasan diri yang sehat.Â
Membangun Kembali Cermin, Menemukan Diri Sendiri
Jadi, adakah kaitan antara kebencian ibu dan sifat anak? Jawabannya adalah "ya", tetapi bukan melalui cara mistis. Ini adalah tragedi dua babak: stres prenatal menciptakan kerentanan biologis, dan dinamika psikologis pascanatal memahat kerentanan itu menjadi kepribadian yang ditakuti, sekaligus menghambat perkembangan kecerdasan intrapersonal anak. Ibu, tanpa sadar, menjadi pematung dari monster yang ia proyeksikan sendiri.
Lalu, bagaimana cara memutus rantai yang menyakitkan ini? Kuncinya terletak pada kesadaran diri dan pembangunan kembali kecerdasan intrapersonal. Bagi calon ibu, mengelola stres dan menyelesaikan konflik batin selama kehamilan adalah langkah pencegahan terbaik. Carilah dukungan, jangan biarkan kebencian menjadi alarm yang tak henti berbunyi di dalam rahim Anda.
Bagi para ibu, tantanglah "kacamata" yang mungkin sedang Anda kenakan. Saat melihat perilaku anak yang memicu emosi, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini fakta, atau ini interpretasi saya yang diwarnai luka masa lalu?" Belajarlah memisahkan anak Anda---individu utuh yang berhak atas identitasnya sendiri---dari bayang-bayang orang lain.
Dengan memberikan pantulan yang jernih dan jujur, Anda tidak hanya membebaskannya dari beban masa lalu Anda, tetapi juga memberinya alat paling berharga: kemampuan untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Setiap anak berhak memulai hidup dengan cermin yang utuh, bukan pecahan dari konflik orang tuanya. Tugas kita adalah memastikan mereka memiliki ruang yang aman untuk melihat refleksi sejati diri mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI