Pernahkah Anda mendengar nasihat turun-temurun, "Jangan membenci orang saat hamil, nanti sifatnya menular ke anak"? Di banyak kebudayaan, termasuk di Indonesia, keyakinan ini mengakar kuat.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik sekaligus meresahkan: mungkinkah kebencian mendalam seorang ibu selama sembilan bulan mengandung bisa secara ajaib "mencetak" kepribadian anaknya hingga menyerupai sosok yang ia benci? Apakah ini sekadar mitos, atau ada penjelasan ilmiah di balik gema emosi yang terasa begitu nyata dalam rahim?
Mari kita bedah fenomena kompleks ini, bukan dengan kacamata takhayul, melainkan melalui lensa sains yang jernih.Â
Gema dalam Rahim, Alarm yang Tak Henti Berbunyi
Secara biologis, kepribadian seorang anak adalah hasil interaksi rumit antara cetak biru genetik dari orang tua dan pahatan lingkungan tempat ia tumbuh. Tidak ada mekanisme ilmiah yang bisa mentransfer sifat kompleks seperti "licik" atau "sombong" dari orang lain ke janin melalui aliran darah. Namun, bukan berarti kondisi emosional ibu tidak berpengaruh sama sekali. Stres hebat yang dialami ibu hamil---termasuk yang lahir dari kebencian atau konflik berkepanjangan---memicu produksi hormon stres seperti kortisol.Â
Bayangkan rahim sebagai sebuah ruangan yang tenang. Tiba-tiba, alarm kebakaran berbunyi terus-menerus. Alarm ini adalah hormon stres ibu yang menyeberang ke plasenta. Janin di dalam "ruangan" itu tidak tahu apa sumber bahayanya, ia hanya tahu bahwa dunia di luar sana penuh ancaman.
Akibatnya, ia mempersiapkan diri. Dalam sebuah penelitian berjudul "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Temperamen Bayi Usia 2-3 Bulan" yang diterbitkan di Jurnal Nursing Current (2017), peneliti Reni Puspita Sari dan timnya menemukan bahwa ketakutan berlebih pada ibu hamil secara signifikan meningkatkan peluang bayi memiliki temperamen "tidak mudah" atau lebih rewel.
Paparan kortisol yang tinggi juga terbukti dapat mengganggu perkembangan sistem saraf dan otak janin. Bahkan, sebuah studi oleh Kaja Z. LeWinn dan rekan-rekannya yang berjudul "Elevated maternal cortisol levels during pregnancy are associated with reduced childhood IQ" dan dipublikasikan di International Journal of Epidemiology (2009), mengaitkan kadar kortisol maternal yang tinggi dengan skor IQ verbal yang lebih rendah pada anak di kemudian hari.Â
Jadi, kebencian ibu tidak mengirimkan "potret" kepribadian musuhnya ke janin. Alih-alih, ia mengirimkan sinyal bahaya terus-menerus yang membuat bayi lahir dengan "sistem alarm" yang lebih sensitif. Bayi ini mungkin lebih mudah menangis dan lebih reaktif. Ia lahir bukan sebagai replika seseorang, melainkan sebagai kanvas yang sudah dipersiapkan untuk dilukis dengan warna-warna kelam, sebuah titik awal yang lebih menantang untuk mengembangkan pemahaman diri.
Cermin Retak dan Kecerdasan yang Terluka