Dalam diskusi publik yang semakin kritis, pandangan bahwa pajak visioner adalah "wishful thinking" tanpa perubahan struktural besar-besaran memang menggugah.Â
Namun, pandangan tersebut, meski valid dalam konteks skeptisisme terhadap tata kelola fiskal Indonesia, justru berisiko mengabaikan dinamika kebijakan publik kontemporer yang menunjukkan bahwa pajak visioner bukanlah utopia, melainkan keniscayaan yang bisa dioperasikan bahkan dalam struktur yang belum ideal.
Christanto Panglaksana (CP) dalam dua artikelnya di Kompasiana menyajikan narasi yang kuat tentang korupsi sistemik dan beban rakyat yang berlipat ganda akibat praktik rente dan tata kelola yang buruk.Â
Kritik ini penting dan perlu direspon dengan serius. Namun, menganggap bahwa pajak visioner hanya mungkin dalam struktur ekonomi-politik yang telah bersih dan ideal justru berpotensi menunda reformasi yang bisa dimulai dari instrumen fiskal itu sendiri.
Pajak Sebagai Titik Masuk Perubahan Struktural
Teori kebijakan publik kontemporer, seperti yang dikembangkan oleh Mariana Mazzucato dalam "The Entrepreneurial State" (2013), menempatkan pajak bukan hanya sebagai alat redistribusi, tetapi sebagai instrumen penciptaan nilai dan arah pembangunan.Â
Negara, bahkan dalam struktur yang belum sempurna, dapat menggunakan kebijakan fiskal untuk memulai transformasi struktural. Pajak visioner bukanlah hasil dari struktur ideal, melainkan jalan menuju struktur yang lebih sehat dan berkeadilan.
Contoh konkret datang dari Brasil, negara dengan sejarah ketimpangan dan korupsi yang panjang. Melalui reformasi pajak penghasilan progresif, Brasil berhasil menurunkan koefisien Gini dari 0,63 pada 2001 menjadi 0,53 pada 2023. Ini bukan hasil dari struktur yang ideal, melainkan dari keberanian politik untuk menggunakan pajak sebagai alat koreksi struktural.
Korupsi dan Pajak: Dua Arena yang Bisa Ditangani Secara Paralel
CP menyatakan bahwa rakyat dipaksa membayar berkali-kali akibat korupsi dan pajak yang eksploitatif. Namun, ini bukan argumen untuk menunda reformasi pajak, melainkan justru alasan untuk mempercepatnya. Korupsi fiskal memang nyata, tetapi membiarkan sistem pajak tetap reaktif dan revenue-centric justru memperkuat status quo.