Studi oleh International Centre for Tax and Development (ICTD) menunjukkan bahwa reformasi pajak yang transparan dan partisipatif dapat memperkuat akuntabilitas fiskal dan mengurangi ruang korupsi, bahkan di negara-negara dengan governance lemah. Dengan kata lain, pajak visioner bukanlah korban dari korupsi, melainkan senjata untuk melawannya.
Bukti Empiris: Pajak Visioner Bisa Dimulai dari Kebijakan Mikro
Denmark menghapus PPN buku demi menyelamatkan literasi remaja, meski harus kehilangan 44 juta per tahun. Singapura memberikan tax exemption hingga 200% untuk belanja R&D, menjadikannya pusat inovasi Asia. Jerman mengenakan pajak karbon untuk mendanai transisi energi. Semua kebijakan ini dimulai dari keputusan fiskal yang berani, bukan dari struktur ekonomi-politik yang steril dari masalah.
Indonesia pun memiliki peluang serupa. Data World Bank (2024)Â menunjukkan bahwa pajak omzet 0,5% dapat menggerus hingga 15% laba bersih UMKM digital yang beroperasi dengan margin tipis.Â
Reformasi sederhana seperti pembebasan PPN atas buku dan bahan pendidikan, serta insentif pajak untuk inovasi dan teknologi hijau, bisa menjadi titik awal pajak visioner yang berdampak langsung pada SDM dan daya saing nasional.
Diplomasi Fiskal: Menyulam Harapan dengan Realisme
Kritik CP tentang "menabur benih di tanah tandus" patut dihargai sebagai pengingat akan kompleksitas struktural. Namun, sejarah kebijakan publik menunjukkan bahwa benih bisa tumbuh bahkan di tanah yang belum sempurna, asalkan ada keberanian politik dan desain kebijakan yang berbasis data.
Pajak visioner bukanlah ilusi, melainkan strategi bertahap yang bisa dimulai dari kebijakan mikro, diperluas melalui insentif yang tepat, dan diperkuat dengan partisipasi publik.Â
Menunggu struktur ideal sebelum bertindak justru memperpanjang penderitaan rakyat yang sudah terjebak dalam sistem fiskal yang eksploitatif.
Pajak Visioner Adalah Jalan, Bukan Tujuan