Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Money

Diskriminasi Upah Buruh Perempuan

13 April 2010   08:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 2006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Salah satu bentuk diskriminasi di pasar kerja yang banyak mendapat sorotan adalah diskriminasi upah menurut jenis kelamin. Perusahaan dianggap melakukan pembedaan upah tanpa kriteria obyektif atau terkait dengan kinerja buruh.

Praktik pembedaan upah antara perempuan dengan laki-laki di kalangan buruh tani sudah berjalan sejak sangat lama. Entah siapa yang memulai, buruh tani perempuan diberi upah yang nilainya sekitar 75 persen dari upah buruh tani laki-laki.

Padahal tidak sedikit jenis pekerjaan di sektor pertanian yang secara umum lebih baik hasilnya jika dikerjakan perempuan. Artinya, perbedaan produktivitas bukanlah alasan pembedaan upah tersebut.

Sekarang, setelah sekian lama gerakan penghapusan segala bentuk diskriminasi demikian kencang jalannya, sangat menarik melihat apakah praktik diskriminasi upah tetap terjadi. Juga menarik melihat apakah kebijakan pemerintah bisa memainkan peran penting dalam penghapusan diskriminasi upah.

Upah atau pekerjaan?

Tabel menunjukkan, buruh perempuan di Indonesia menerima upah lebih rendah daripada buruh laki-laki. Secara rata-rata keseluruhan buruh perempuan hanya menerima 74 persen dari upah yang diterima buruh laki-laki.

Perbedaan upah buruh itu konsisten di setiap provinsi, dengan rasio upah perempuan dibandingkan dengan laki-laki yang bervariasi. Di Banten dan Kalimantan Timur, buruh perempuan hanya menerima 62 persen dari upah buruh laki-laki, yang merupakan kondisi terburuk dibandingkan dengan provinsi lain. Sementara itu, di Sulawesi, kondisinya lebih baik, rasio upah buruh perempuan dengan laki-laki 89 persen-99 persen.

Tuduhan diskriminasi upah tidak dengan serta-merta bisa dialamatkan kepada pengusaha. Ada dua situasi yang memang terkait, tetapi bisa dibedakan satu dengan lainnya, yakni diskriminasi upah dan diskriminasi pekerjaan.

Diskriminasi upah merupakan pembedaan upah buruh pada pekerjaan, kualifikasi, jam kerja, kinerja, serta kondisi lain yang semuanya sama. Jadi, pembedaan upah dilakukan semata-mata karena pertimbangan jenis kelamin.

Sementara itu, diskriminasi pekerjaan tidak mengenal pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan sama, tetapi membatasi akses perempuan pada pekerjaan tertentu. Lebih spesifik lagi, perempuan hanya diberi akses untuk pekerjaan "marjinal" yang upahnya lebih rendah.

Ada berbagai alasan perusahaan melakukan diskriminasi pekerjaan. Pertama, prasangka pekerjaan tertentu hanya bisa dilakukan laki-laki, atau perempuan hanya cocok melakukan kerja tertentu. Ini dapat dilihat pada iklan lowongan pekerjaan di berbagai media massa.

Kedua, peraturan tentang hak-hak pekerja perempuan, sehingga merekrut pekerja perempuan dianggap "merugikan" perusahaan. Contohnya, aturan tentang cuti, khususnya cuti haid dan cuti melahirkan.

Di satu sisi, peraturan ini positif, karena sangat melindungi pekerja perempuan terkait dengan fungsi reproduksinya. Akan tetapi, dari sudut pandang perusahaan, ketentuan ini membuat pekerja perempuan sangat berpotensi memiliki hari kerja lebih rendah daripada laki-laki, sementara gajinya harus terus diberikan ketika cuti.

Apa pun alasannya, kedua bentuk diskriminasi tersebut sama buruknya bagi buruh perempuan. Lantas, terkait dengan perbedaan upah sebagaimana terlihat dalam tabel, yang mana yang terjadi di Indonesia?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab melalui analisis regresi yang bisa mengontrol pengaruh variabel lain (selain jenis kelamin). Hasil analisis Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika menunjukkan, diskriminasi upah buruh perempuan memang terjadi.

Pada tingkat pendidikan, jam kerja, umur, dan daerah yang sama, secara statistik terbukti buruh perempuan menerima upah lebih rendah daripada laki-laki. Setelah dikontrol dengan berbagai variabel tersebut, perbedaan upah mencapai Rp 216.000 sebulan.

Digabung dengan fenomena empiris yang teramati antara lain dari iklan lowongan pekerjaan di media massa, hasil analisis tersebut menunjukkan, di Indonesia terjadi dua jenis diskriminasi (upah dan pekerjaan) sekaligus bagi buruh perempuan.

Penutup

Meskipun secara statistik terbukti, tidak mudah membuktikan diskriminasi tersebut di lapangan. Itu berarti tidak mudah juga mengatasinya. Selain dengan peraturan jelas dan tegas tentang larangan praktik diskriminasi, khususnya dalam perekrutan dan upah, diperlukan kerja sama berbagai pihak.

Pemerintah perlu memberi perhatian lebih besar terhadap masalah ini. Selama ini ada kesan pemerintah hanya "sibuk" mengurus upah minimum.

Tidak ada salahnya pemerintah mengawasi lebih ketat kebijakan perusahaan dalam perekrutan dan pengupahan. Misalnya, perusahaan dilarang memasukkan kriteria jenis kelamin dalam perekrutan.

Diskriminasi upah dalam perusahaan lebih sulit diatasi, kecuali jika ada pengaduan dari pihak buruh. Karena itu, serikat buruh/pekerja juga perlu memberi perhatian lebih besar terhadap kasus ini. Hal itu bisa dimulai, antara lain, melalui keterlibatan perempuan yang lebih besar dalam serikat buruh/pekerja.

[Ket: Artikel ini pernah dimuat di harian Kompas, 19 Mei 2007]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun