Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Money

Diskriminasi Upah Buruh Perempuan

13 April 2010   08:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 2006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kedua, peraturan tentang hak-hak pekerja perempuan, sehingga merekrut pekerja perempuan dianggap "merugikan" perusahaan. Contohnya, aturan tentang cuti, khususnya cuti haid dan cuti melahirkan.

Di satu sisi, peraturan ini positif, karena sangat melindungi pekerja perempuan terkait dengan fungsi reproduksinya. Akan tetapi, dari sudut pandang perusahaan, ketentuan ini membuat pekerja perempuan sangat berpotensi memiliki hari kerja lebih rendah daripada laki-laki, sementara gajinya harus terus diberikan ketika cuti.

Apa pun alasannya, kedua bentuk diskriminasi tersebut sama buruknya bagi buruh perempuan. Lantas, terkait dengan perbedaan upah sebagaimana terlihat dalam tabel, yang mana yang terjadi di Indonesia?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab melalui analisis regresi yang bisa mengontrol pengaruh variabel lain (selain jenis kelamin). Hasil analisis Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika menunjukkan, diskriminasi upah buruh perempuan memang terjadi.

Pada tingkat pendidikan, jam kerja, umur, dan daerah yang sama, secara statistik terbukti buruh perempuan menerima upah lebih rendah daripada laki-laki. Setelah dikontrol dengan berbagai variabel tersebut, perbedaan upah mencapai Rp 216.000 sebulan.

Digabung dengan fenomena empiris yang teramati antara lain dari iklan lowongan pekerjaan di media massa, hasil analisis tersebut menunjukkan, di Indonesia terjadi dua jenis diskriminasi (upah dan pekerjaan) sekaligus bagi buruh perempuan.

Penutup

Meskipun secara statistik terbukti, tidak mudah membuktikan diskriminasi tersebut di lapangan. Itu berarti tidak mudah juga mengatasinya. Selain dengan peraturan jelas dan tegas tentang larangan praktik diskriminasi, khususnya dalam perekrutan dan upah, diperlukan kerja sama berbagai pihak.

Pemerintah perlu memberi perhatian lebih besar terhadap masalah ini. Selama ini ada kesan pemerintah hanya "sibuk" mengurus upah minimum.

Tidak ada salahnya pemerintah mengawasi lebih ketat kebijakan perusahaan dalam perekrutan dan pengupahan. Misalnya, perusahaan dilarang memasukkan kriteria jenis kelamin dalam perekrutan.

Diskriminasi upah dalam perusahaan lebih sulit diatasi, kecuali jika ada pengaduan dari pihak buruh. Karena itu, serikat buruh/pekerja juga perlu memberi perhatian lebih besar terhadap kasus ini. Hal itu bisa dimulai, antara lain, melalui keterlibatan perempuan yang lebih besar dalam serikat buruh/pekerja.

[Ket: Artikel ini pernah dimuat di harian Kompas, 19 Mei 2007]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun