Mohon tunggu...
Edward EfendiSilalahi
Edward EfendiSilalahi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Manajemen di Universitas 17 Agustus 45 Jakarta

Menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mandiri dan berkelanjutan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi: Patologi Demokrasi Indonesia

8 Oktober 2019   13:05 Diperbarui: 8 Oktober 2019   13:18 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENGANTAR

Demokrasi dan Korupsi,sering dikatakan,memiliki keterkaitan yang erat.Jika hendak dibuat sederhana,ketika negara semakin demokratis semakin rendah tingkatan korupsi yang terjadi pada negara tersebut.Pendapat seperti ini dibuat dengan asumsi bahwa sebab pokok terjadinya korupsi karena tidak cukupnya kompetisi,baik dalam ranah politik maupun ekonomi.Demokrasi membuka peluang terciptanya kompetisi.Dipostulatkan korupsi terjadi karena ada ketidak seimbangan dalam pembangunan moda ekonomi dan atau moda politik dan demokrasi membuka jalan untuk memperoleh keseimbangan yang hilang itu.

Namun apa yang dipostulatkan begitu kuat dalam kerangka teori itu tidak begitu saja dengan mudah dijumpai di lapangan.Setidaknya itulah pendapat Yadaf(2011),dia menyebut contoh India dan Argentina adalah dua negara sedang berkembang yang demokratis dengan tingkatan korupsi yang begitu tinggi.Meskipun misalnya , ada dua negara lain Taiwan dan Brasil yang memiliki tingkatan korupsi yang lebih rendah.Sementara Johnston(2011)bahkan terkejut ketika ditemukan tanda-tanda bahwa demokrasi dapat berdampingan secara damai dengan korupsi.Keduanya bisa berjalan seiring.Ya demokratis,tetapi juga ya koruptif.

Pertanyaan muncul,mengapa bisa demikian ? Yadaf (2011,2005) mencoba memberi jawaban atas gejala unik yang dikonstatir Johnston tersebut.Tidak adanya hubungan linier antara demokrasi dan korupsi karena ternyata ada variable yang terlupakan dalam menjelaskan hal tersebut,yakni Politik Kepentingan dari Oligarki,dan Pragmatisme Politik Kartel.

Oligarki dimaksudkan sebagai suatu aliansi dari kekuasaan yang meliputi birokrasi dan politik serta korporasi yang mendapatkan fasilitas dan proteksi dari kekuasaan serta korporatif lainnya.

Politik kartel ditandai dengan pragmatis politik yang berbasis pada jaminan logistik bagi kepentingan politik yang menyebabkan pengabaian atas daulat rakyat dimana para elite politik membangun politik inklusi dan eksklusi secara sekaligus. Yakni sesama elite politik saling mengakomodasi agar dapat mengakses sumber daya publik, jabatan, posisi dan kekayaan alam serta sumber daya lainnya dengan mengabikan kedaulatan rakyat.

Dalam konteks Indonesia senada dengan pandangan diatas, Daniel Hutagalung menegaskan bahwa pemerintahan pasca-orde baru kerap dipandang sebagai model oligarkis, namun jalinannya lebih rumit dan beragam dibanding era Soeharto dengan orde barunya. Pada era reformasi, tidak hanya oligarki yang muncul mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah, juga plutokrasi dan boosisme, yakni model pemerintahan dimana kekuasaan berada ditangan orang-orang kaya berbasis keluarga, juga turut berkembang dan mulai mengakar kuat.

Jalinan kekuasaan ini kerap disebut model politik kartel, yakni kekuatan politik masih bergantung banyak pada hubungan patronase dan juga penggunaan dana-dana non-bujet yang diperoleh melalui rente, bahkan pemerasan. Masih menurut Hutagalung, kelompok-kelompok ini kemudian bertransformasi menjadi predator baru, menggantikan rezim orde baru. Kelompok bisnis-politik keluarga kini menguasai sentra-sentra pemerintahan dan legislatif, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten, kota. Kekuatan ini membentuk oligarki baru dan sejumlah daerah membentuk semacam plutokrasi, yakni sebuah model pemerintahan dimana kekuasaan berada ditangan orang-orang kaya berbasis keluarga.

Michael Johnston mengatakan:

"Elite cartel corruption builds and makes use of extended high-level networks,sustained by the spoil of corruption and linking diverse elite who share a stake in the status quo" Dia menyatakan lebih jauh ".....interlocking groups of top ploticians,business figures,bereaucrats,military and ethnic leaders share corrupt benefits among themselves they can built networks and alliances that solidity their power and stave off the opposition.Corruption of this sort may well be highly lucrative,but it is also a strategy for forestalling political change." 

Oleh karena itu sesungguhnya, korupsi kartel elite ini memiliki dua fungsi pokok: tidak hanya untuk memperkaya para elit yang terlibat tetapi juga untuk melindungi kekuasaan yang ada dalam genggamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun