Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjaga Marwah Sang Pastor

8 Oktober 2021   17:40 Diperbarui: 8 Oktober 2021   17:43 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Misa (sumber: internasional.sindonews.com)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Umat Katolik dunia dikejutkan oleh berita yang datang dari Prancis. Telah terjadi kasus pelecehan seksual anak dibawah umur yang dilakukan oleh pimpinan Gereja Katolik di Prancis. 

Tidak main-main, menurut laporan CNN Indonesia (05/10/2021) sekitar 330.000 anak dilaporkan menjadi korban pelecehan pastor dan pejabat Gereja Katolik Prancis selama tujuh dekade terakhir. Kasus yang sungguh mengerikan dan memuakkan.

Kasus ini juga mendapat respon dari yang Mulia Bapak Paus Fransiskus di Vatikan, Roma Italia. Dilansir dari CNBC Indonesia (07/10/2021), Paus Fransiskus merasa malu atas ketidakmampuan Gereja Katolik Prancis dalam menangani masalah kekerasan seksual tersebut. 

Lebih lanjut, Paul Fransiskus juga mendesak agar kejadian serupa tak pernah lagi terulang ke depan dan meminta gereja dijadikan sebagai rumah yang aman bagi semua.

Kasus ini mendapat sorotan karena pelaku kekerasan pedofil tersebut dilakukan oleh para pemuka agama katolik termasuk para pastor. Sungguh sangat disayangkan, mengingat para pelaku tersebut adalah tokoh-tokoh yang dianggap paling mengerti moral serta paling memahami nilai-nilai keagamaan. Di sisi lain, kasus ini sudah mendapatkan perhatian publik dan sudah diangkat di berbagai media internasional.

Perlu diakui bahwa resistensi terhadap persoalan yang melibatkan para pemuka agama akan sangat luar biasa. Apalagi kasus yang terjadi merupakan pelanggaran nilai-nilai dasar ajaran agama. 

Dalam konteks Gereja Katolik, kasus pelecehan seksual termasuk pelanggaran berat karena melanggar salah satu dari sepuluh perintah Allah. Perintah Allah yang ke-6 "Jangan berzinah".

Eksklusivitas Gereja Katolik dalam Menyelesaikan Konflik

Gereja Katolik hadir sebagai agama yang modern dan terbuka (inklusif) sejak Konsili Vatikan II. Hal itu tidak sejalan dengan cara penyelesaian masalah dalam tubuh Pemimpin Gereja Katolik yang cenderung eksklusif. Entah apa alasannya, ada kesan menutup-nutupi kasus yang melibatkan pimpinan Agama Katolik.

Lambatnya penanganan kasus merupakan salah contoh konkrit lemahnya penyelesaian masalah di internal otoritas Gereja Katolik. Selain itu, banyak skandal yang melibatkan pimpinan Gereja seperti di tutup rapat oleh otoritas Gereja. Demi menjaga nama baik Gereja Katolik. Begitulah kira-kira alasannya.

Secara kelembagaan, otoritas Gereja Katolik memiliki tanggung jawab moral terhadap oknum pejabat Gereja yang sudah mencoreng nama baik Gereja Katolik. 

Caranya dengan tidak menutup diri dalam dari kritikan atau masukan dari pihak luar. Sebab, secara kelembagaan tentu membutuhkan masukan dari pihak luar agar berbagai skandal dalam otoritas Gereja Katolik mendapatkan jalan keluar.

Penulis sendiri sering kali memberikan kritikan pedas terhadap otoritas Gereja Katolik yang tidak buka mata terhadap berbagai penyimpangan yang mencoreng nama baik Gereja Katolik. 

Sebagai agama yang dianut, penulis merasa bertanggung terhadap kehidupan Gereja. Termasuk dalam hal memberikan kritikan kepada pejabat Gereja yang korup, melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual.

Penulis tidak memiliki masalah dengan Gereja Katolik secara kelembagaan, namun tidak berarti harus diam terhadap skandal yang dilakukan oleh pejabat Gereja. 

Sebab, penulis sebagai anggota Gereja tentu prihatin dengan ulah sebagian pejabat gereja yang menyimpang. Bagi penulis, mental pejabat Gereja Katolik yang tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci harus disoroti dan dikritik dengan keras.

Bisa saja berbeda pendapat dengan yang lain, namun bagi penulis terkecuali dalam hal otoritas keimamatannya maka aktivitas pejabat Gereja Katolik tetap harus mendapatkan sorotan dari umat. 

Secara kelembagaan tidak mungkin kerja-kerja pastoral misalnya dibiarkan begitu saja tanpa ada kontrol dari umat. Jika ini dibiarkan maka ada banyak "bangkai" yang tertutup namun suatu waktu akan terbongkar. Saat itu juga, kita akan malu secara beramai-ramai.

Secara eksplisit, tidak data akurat mengenai skandal yang melibatkan para pastor di Indonesia. Namun tidak berarti skandal yang melibatkan pastor nihil. Masih ingat dalam benak kita, kasus Herman Jumat Masan alias Herder mantan pastor yang membunuh pacar dan dua anaknya. 

Kasus tersebut terbongkar setelah 10 tahun kejadian. Pelaku sempat dijatuhkan hukuman mati namun pada tingkat peninjauan kembali (PK) mantan pastor tersebut dihukum dengan hukum penjara seumur hidup.

Herder Terpidana Kasus Pembunuhan (sumber: kupang.tiribunews.com)
Herder Terpidana Kasus Pembunuhan (sumber: kupang.tiribunews.com)

Kasus lain yang tidak kalah menggemparkan adalah penggelapan dana yang dilakukan oleh salah satu mantan Uskup di Flores. Uskup Mgr. Hubertus Leteng yang memimpin umat di keuskupan Ruteng dilaporkan telah menggelapkan dana. 

Laporan BBC Indonesia (13/10/2017) secara terang-terangan memberitakan skandal tersebut dengan judul "Mundur terkait skandal seks dan uang, Uskup Ruteng diminta kembalikan uang gereja Rp1,6 miliar". 

Uskup Hubertus Leteng (sumber: nttsatu.com)
Uskup Hubertus Leteng (sumber: nttsatu.com)

Kasus ini pernah menghebohkan umat Katolik di Manggarai. Sosok yang dihormati ternyata melakukan perbuatan yang tidak sesuai norma-norma Agama Katolik. 

Kasus ini sempat menjadi sorotan media asing dan menjadi perbincangan di kalangan umat Katolik di Indonesia. Apalagi kasus ini melibat seorang uskup secara langsung.

Sebagai anggota Gereja, penulis menyampaikan apresiasi kepada pihak-pihak yang berani bersuara membongkar skandal yang melibatkan oknum-oknum pejabat Gereja Katolik. 

Termasuk mengapresiasi  pejabat gereja (pastor) sendiri yang berani membongkar kebobrokan perilaku di internal nya. Sekaligus setia mendampingi korban kekerasan yang dilakukan oleh pejabat Gereja.

Menjaga Marwah Sang Pastor

Memang sangat berlebihan bila harus mengajari cara bagaiman seorang pastor menjaga marwahnya sebagai orang pilihan Allah. Terkesan seperti menggurui. 

Namun, sebagai anggota Gereja, penulis tentu sangat mengharap agar perilaku seorang pastor harus lebih baik dari pada umatnya. Itu mungkin standar yang paling ideal.

Setidaknya ada beberapa harapan yang ingin diutarakan dan mungkin juga yang diinginkan oleh umat Katolik. Pertama, pastor harus tetap fokus pada pelayanan umat. 

Umat menginginkan para pastor untuk fokus pada pelayanan dasar di dalam Gereja. Pelayanan dasar seperti perayaan Ekaristi Kudus merupakan tugas utama seorang pastor karena tidak dapat diwakili oleh umat. 

Di berbagai stasi misalnya, masih banyak umat yang merindukan perayaan Ekaristi Kudus. Karena alasan keterbatasan Pastor, kerinduan mereka akan perayaan Ekaristi tersebut terpaksa tidak bisa terpenuhi. 

Namun disisi lain, kita masih melihat banyak Pastor yang menghabiskan waktu di tempat-tempat rekreasi. Tidak adil memang namun apa mau dikata, semua kembali kepada otoritas Gereja.

Kedua, seorang pastor harusnya menghindari gaya parlente. Seringkali gaya parlente seorang pastor kontras dengan kehidupan umat. Kehidupan seorang pastor yang mewah sangat bertolak belakang dengan kehidupan umat yang serba kekurangan. Bukan rahasia lagi, kalau umat lah yang membiayai kehidupan para pastor.

Sebagai umat, tentu sangat menghormati kehidupan pribadi seorang pastor. Namun tidak berarti para pastor boleh bergaya parlente ditengah kehidupan umat yang serba kekurangan. 

Tidak mempersoalkan apa yang pastor miliki, akan tetapi semua yang dimiliki pastor tidak harus dipertontonkan sehingga jangan ada kesan bahwa kehidupan pastor serba glamor.

Kadang juga, umat sudah tidak ambil pusing lagi dengan kehidupan para pastor. Bahkan sudah pada tahap tidak peduli dengan kehidupan pribadi para pastor. Jika ini di biarkan maka tidak akan rasa saling percaya antara umat dan Pastor. Ini bukan prediksi, ini kekuatiran yang diformulasikan dalam bentuk hipotesa seorang penulis.

Ketiga, seorang pastor harus hidup bebas gosip.Sebenarnya para pastor lebih tahu bagaimana hidup berdampingan bersama umat. Pastor harus lebih peka terhadap isu-isu yang berkembang di kalangan umat. Termasuk kehidupan mereka sendiri.

Menghindari diri dari gosip adalah langkah bijak seorang pastor. Mungkin benar menurut Pastor namun tidak untuk umat. Sebab bagi umat, pastor adalah pribadi yang saleh, yang tidak boleh bertindak seperti yang dilakukan umat atau awam. Bagi umat kehidupan pastor itu benar dan dapat dijadikan contoh untuk umat.

Tidaklah berlebihan, jika sedikit saja kesalahan yang dilakukan oleh pastor, akan meruntuhkan seluruh anggapan umat. Anggapan pastor tidak boleh salah selalu melekat dalam diri umat. Padahal, pastor juga manusia yang bisa salah dan khilaf.

Keempat, Pastor harus menghindari relasi yang intim antar pribadi. Penulis sendiri tidak cukup paham dengan bagaimana seharusnya relasi pastor dengan umat. Pastor dipanggil untuk hidup selibat. 

Selibat adalah sebuah pilihan hidup yang bersumber dari suatu pandangan atau pemikiran tertentu yang memutuskan sang pribadi untuk memilih hidup tanpa menikah. Pada posisi ini, kehidupan seorang pastor adalah milik umat.

Dengan mengucap kaul kesucian, seseorang yang memilih hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga demi Kerajaan Allah. Oleh karena itu, sangat tidak pantas seorang pastor membangun relasi khusus dengan orang-orang tertentu. Inilah awal dari kehancuran kehidupan imamat seorang pastor. Sebagai milik semua umat, seorang pastor harus bertindak adil dalam hal pelayanan iman. 

Sering kali, penulis mendengarkan seorang pastor memiliki anak angkat, anak asuh dan lain sebagainya. Tidak salah memang, tetapi kesannya ada yang diistimewakan. Bagi penulis, itu sudah melanggar panggilan hidup seorang imamat yaitu hidup selibat. Karena masih terikat dengan orang secara personal. 

Pembaca yang budiman, tulisan ini tidak bermaksud mendeskreditkan para pastor. Ini bentuk kecintaan penulis terhadap para Pastor. Mengingat penulis juga memiliki sahabat-sahabat yang menjadi pastor. Apakah dengan mengatakan kebenaran, para pastor harus memusuhi aku? Salam.

Mengeruda, 8 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun