Adi yang melihat itu langsung berdiri. "Ustaz, mohon maaf, tapi masjid ini bukan hanya untuk orang yang kelihatan sholeh. Siapa pun yang ingin dekat dengan Allah berhak duduk di sini."
Ustaz Karim mendelik. "Jangan menggurui saya!"
"Tapi Nabi Muhammad pun tak pernah mengusir orang. Bahkan, beliau menyambut orang kafir yang ingin belajar. Apalagi yang sekadar ingin istirahat dan mendekat," ujar Adi tegas namun sopan.
Ustaz Karim terdiam sejenak, lalu pergi sambil mendengus, meninggalkan suasana yang kaku.
Rudi mendekati Adi. "Makasih ya... Baru kali ini ada yang belain saya di masjid."
Adi tersenyum. "Yang penting niatmu baik, Mas. Allah lebih lihat hati, bukan tampilan."
Sejak hari itu, Rudi sering ke masjid. Ia belajar mengaji dari Adi, mulai meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia juga mulai tersenyum lebih sering, bahkan ikut membantu bersih-bersih masjid. Warga yang dulu memandangnya sebelah mata, perlahan mulai menerima kehadirannya.
Sementara itu, jamaah mulai mempertanyakan sikap Ustaz Karim yang terlalu cepat menghakimi. Beberapa di antara mereka mengingatkan bahwa dakwah seharusnya mengundang, bukan mengusir.
Suatu malam, saat pengajian, Rudi diminta berbicara. Suaranya berat, tapi tulus.
"Dulu saya pikir masjid bukan buat saya. Tapi ada satu orang yang bikin saya ngerasa pantas. Bukan karena dia ceramah panjang, tapi karena dia nggak menghakimi. Dia cuma menyambut."
Adi tertunduk malu, tapi senang. Ia tak pernah merasa lebih baik dari siapa pun, hanya berusaha sedikit lebih ramah.