Mohon tunggu...
Naufal Edria
Naufal Edria Mohon Tunggu... Pelajar

Hi, hobi saya main catur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lentera cahaya di rumah Allah

25 September 2025   13:01 Diperbarui: 25 September 2025   13:01 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang pemuda bernama Adi. Ia dikenal sebagai sosok sederhana yang bekerja sebagai tukang servis elektronik. Meski hidup pas-pasan, Adi rajin ke masjid, santun, dan suka membantu siapa saja yang membutuhkan.

Suatu hari, seorang ustaz baru datang ke masjid dekat rumah Adi. Namanya Ustaz Karim. Penampilannya sangat agamis: jubah putih bersih, sorban melilit kepala, dan janggutnya lebat serta rapi. Namun, tutur katanya sering keras dan mudah menghakimi orang lain, terutama mereka yang penampilannya dianggap "tidak layak" masuk masjid.

Di sisi lain kota, ada seorang preman pasar bernama Rudi. Tubuhnya penuh tato, wajahnya sangar, namun siapa sangka, hatinya lembut. Rudi sering membantu para pedagang tanpa pamrih, bahkan pernah menolong seorang ibu yang dompetnya dicopet. Banyak yang takut padanya karena penampilannya, padahal ia sudah lama berhenti dari dunia kekerasan.

Suatu sore, Adi mampir ke masjid untuk shalat ashar. Saat masuk, ia melihat Rudi duduk di pojokan, tampak canggung, memegang topinya erat-erat.

"Assalamualaikum," sapa Adi sambil tersenyum.

"Wa'alaikumussalam," jawab Rudi pelan. "Saya... cuma numpang istirahat, boleh?"

"Tentu boleh. Masjid ini rumah Allah, siapa pun boleh masuk," jawab Adi lembut.

Beberapa menit kemudian, Ustaz Karim datang. Melihat Rudi, wajahnya langsung berubah kaku.

"Eh, kamu! Tempat ini bukan buat orang kayak kamu. Keluar!" serunya lantang.

Rudi berdiri, tertegun. "Saya nggak ganggu, Ustaz. Cuma mau duduk sebentar," ucapnya pelan.

"Masjid bukan tempat preman! Pergi sana, sebelum saya panggil warga!"

Adi yang melihat itu langsung berdiri. "Ustaz, mohon maaf, tapi masjid ini bukan hanya untuk orang yang kelihatan sholeh. Siapa pun yang ingin dekat dengan Allah berhak duduk di sini."

Ustaz Karim mendelik. "Jangan menggurui saya!"

"Tapi Nabi Muhammad pun tak pernah mengusir orang. Bahkan, beliau menyambut orang kafir yang ingin belajar. Apalagi yang sekadar ingin istirahat dan mendekat," ujar Adi tegas namun sopan.

Ustaz Karim terdiam sejenak, lalu pergi sambil mendengus, meninggalkan suasana yang kaku.

Rudi mendekati Adi. "Makasih ya... Baru kali ini ada yang belain saya di masjid."

Adi tersenyum. "Yang penting niatmu baik, Mas. Allah lebih lihat hati, bukan tampilan."

Sejak hari itu, Rudi sering ke masjid. Ia belajar mengaji dari Adi, mulai meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia juga mulai tersenyum lebih sering, bahkan ikut membantu bersih-bersih masjid. Warga yang dulu memandangnya sebelah mata, perlahan mulai menerima kehadirannya.

Sementara itu, jamaah mulai mempertanyakan sikap Ustaz Karim yang terlalu cepat menghakimi. Beberapa di antara mereka mengingatkan bahwa dakwah seharusnya mengundang, bukan mengusir.

Suatu malam, saat pengajian, Rudi diminta berbicara. Suaranya berat, tapi tulus.

"Dulu saya pikir masjid bukan buat saya. Tapi ada satu orang yang bikin saya ngerasa pantas. Bukan karena dia ceramah panjang, tapi karena dia nggak menghakimi. Dia cuma menyambut."

Adi tertunduk malu, tapi senang. Ia tak pernah merasa lebih baik dari siapa pun, hanya berusaha sedikit lebih ramah.

Setelah acara, Ustaz Karim menghampiri mereka. Wajahnya tak segarang biasanya.

"Maafkan saya, Rudi. Mungkin saya terlalu cepat menilai," katanya lirih.

Rudi tersenyum. "Saya pun punya masa lalu, Ustaz. Kita sama-sama belajar."

Dari hari ke hari, masjid itu jadi lebih ramah. Bukan karena penampilan luar, tapi karena hati yang terbuka menerima siapa pun yang ingin kembali kepada-Nya.

Dan Adi? Ia tetap sama---sederhana, tenang, tapi hatinya... seperti lentera yang menuntun dalam gelap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun