Mohon tunggu...
edib elida hanum
edib elida hanum Mohon Tunggu... Penulis

Saya seorang pemimpi yang menjelajah dunia khayali, halusinasi, mimpi buruk, dan penampakan, yang juga berprofesi sebagai penulis paruh waktu. Kalau ingin tahu tentang saya lebih banyak lagi, tap follow instagram saya di bawah ini 👇 Ig : edbeldhnm #salamhangatdariauthor

Selanjutnya

Tutup

Roman

The Day You Left (Bab IV)

4 September 2025   21:06 Diperbarui: 7 September 2025   23:14 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Bab IV (X-IPA 3)

Lorong menuju kelas X-IPA 3 masih sama. Lantai yang sedikit berderit. Jendela-jendela besar dengan tirai yang setengah menguning, hanya saja aroma cat seperti baru di ganti. Tapi ruangan itu sekarang sunyi, tak lagi dipenuhi tawa, candaan, dan guru yang mengomel. Hanya sunyi. Dan kenangan yang menempel di dindingnya.

Ara membuka pintunya perlahan. Derit engselnya menyayat telinga. Langkahnya terhenti di barisan ketiga dari sebelah kanan. Meja mereka. Meja yang dulu penuh coretan. Tempat Dika menggambar wajah Ara dengan pensil tumpulnya. Tempat pertama kalinya Dika memanggilnya dengan nama kecil "Belle". Hanya dia yang boleh memanggil nama itu. Yang lain selalu "Ara".

Ara berjongkok menyentuh permukaan kayu yang sudah mulai retak. Hatinya nyeri. Sebagian karena rindu. Sebagian karena takut, takut apa yang mungkin ia temukan. 

Perlahan ia merogoh ke bawah meja. Sebuah amplop bewarna cokelat tua dengan selotip yang sudah menguning. Kali ini, lebih tebal. Lebih berat. Tangannya gemetar saat membuka isinya. Di dalamnya bukan hanya surat. Tapi juga sebuah foto tua, kusam.

Ara menahan nafas.

Itu foto mereka berdua. Ia tak pernah ingat ada momen ini dipotret. Tapi di sana mereka duduk berdua. Dika sedang memegang kertas ujian, tertawa lepas. Ara sedang menatap kamera sambil menggigit pulpen. Di bagian belakang foto itu, ada tulisan tangan.

"Hari ini kamu bilang aku bodoh karena lupa membawa pulpen dan lupa nama guru baru itu. Tapi kamu nggak tahu, aku cuma lupa semuanya karena aku terus mikirin kamu."

Dengan tangan gemetar Ara membuka surat tersebut.

"Belle, surat ini bukan hanya petunjuk. Ini hanya caraku bertahan. Dan kalau kamu sudah membaca sampai titik ini, artinya kamu masih mencariku. Terimakasih karena tidak pernah menyerah."

Ara menutup matanya, dadanya terasa sesak.

Ara menunduk, matanya terpaku pada tulisan itu. Seolah setiap hurufnya berdenyut, menyentuh hati yang selama ini rapuh. Tangannya menggenggam foto itu erat, seperti takut kalau dilepas, Dika akan lenyap dari ingatannya selamanya. Tapi bukan hanya rindu yang menguasai, ada sesuatu yang baru. Rasa penasaran yang menusuk, lebih tajam dari apapun yang pernah ia rasakan.

Di pojok surat, ada tinta yang berbeda, nyaris seperti kode rahasia.

"Temukan aku di tempat di mana tawa kita paling sering hilang!"

Ara menatap sekeliling kelas sunyi itu. Tawa mereka dulu memang pernah hilang, di hancurkan oleh kesibukan, tenggelam dalam ujian, dan waktu yang berjalan terlalu cepat serta perpisahan yang menyakitkan saat Dika harus pergi menjejakkan impiannya di negara kincir angin. Tapi “tempat” itu di mana? Apakah nyata, atau hanya jejak yang tersimpan di ingatan?

Detik demi detik terasa seperti detik-detik yang membeku. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia bisa merasakan Dika di dekatnya bukan secara fisik, tapi melalui kata-kata ini. Surat ini bukan sekadar kenangan, ini adalah undangan. Undangan untuk mengikuti jejak yang Dika tinggalkan, jejak yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.

Ara menempelkan foto itu di dada, menarik napas dalam-dalam. Rasa sakitnya berganti dengan tekad. Tekad untuk menemukan Dika, atau setidaknya, untuk menemukan maksud dari semua misteri ini.

Ia melangkah keluar kelas. Lorong panjang menyambutnya dengan lantai berderit dan cahaya sore yang menembus tirai kuning, menorehkan bayangan panjang di dinding. Di setiap derit langkahnya, ia merasakan Dika memanggilnya, tersenyum, menunggu di ujung teka-teki yang belum terpecahkan.

Ara menelan ludah. Perjalanan ini baru saja dimulai. Dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan Dika, hatinya berdegup bukan karena sakit, tapi karena harapan-harapan yang muncul dari misteri yang harus ia pecahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun