"Tolong... tolong... tolong...."
Rupanya angin membawa berita duka. Aroma luka berbalut air mata kental terasa ketika kami sampai di sumber suara. Tangis haru tak mampu dibendungnya. Titik bening di mata Wati yang bulat itu luruh. Sedang aku dan Rudi hanya bisa berdiri mematung melihat kenyataan yang ada. Anak tetangga tiga rumah dari rumah Wati menghembuskan napasnya.
"Terlambat! Penghuni hutan itu sudah meminta tumbalnya." Wati menitikkan air mata.
"Semua sudah jadi kehendakNya. Tak patut kita menghakimi sesuatu yang belum pasti kebenarannya." Aku berusaha menenangkan Wati yang tampak gelisah.
Tak kusangka, Wati menjadikan dadaku sebagai sandarannya. Kunikmati saja kegelisahannya. Meskipun tangisnya sampai membasahi baju kaos kesayanganku. Ternyata dibalik kesedihan Wati ada kebahagiaanku yang terselip di sana. Cinta memang terkadang jahat. Tapi memang seperti itulah datangnya. Terutama padaku kali ini.
Kudekap erat pundaknya. Kebelai rambut kepangnya. Semua semata tuk menenangkan kegelisahan hatinya. Meredakan pilu dijiwanya. Meski jelas hatiku yang jadi gelisah karenanya. Dimana ada desir halus yang merambat dalam setiap urat nadiku. Rasa yang berbeda dari biasanya.
Ya Tuhan... apakah ini yang namanya cinta? Apa memang aku sudah terpikat pada Wati? Mengapa kau berikan cara datangnya seperti ini? Disaat kesedihannya datang, justru saat itulah puncak kebahagiaanku menjelma. Rudi hanya bisa berdehem iri melihat kemesraan yang tanpa sengaja, tiba tiba saja tercipta.
"Ehem... ehem...." Rudi mencoba menyadarkan Wati.
"Eh... maaf." Wati menjauhkan wajahnya dari dada bidangku sambil tersenyum malu.
"Kalau kamu mau menangis, menangislah. Aku siap menampung semua kesedihanmu." Jawabku kikuk.
"Aku hanya takut bencana ini semakin besar saja. Mengapa penghuni hutan tak mau sabar menunggu hingga Minggu depan? Bukankah warga desa sudah bersedia menyajikan segala hasil buminya pada mereka?"