Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Malam Jumat (9)

8 November 2019   22:05 Diperbarui: 9 November 2019   07:30 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Tolong... tolong... tolong...."


Rupanya angin membawa berita duka. Aroma luka berbalut air mata kental terasa ketika kami sampai di sumber suara. Tangis haru tak mampu dibendungnya. Titik bening di mata Wati yang bulat itu luruh. Sedang aku dan Rudi hanya bisa berdiri mematung melihat kenyataan yang ada. Anak tetangga tiga rumah dari rumah Wati menghembuskan napasnya.

"Terlambat! Penghuni hutan itu sudah meminta tumbalnya." Wati menitikkan air mata.

"Semua sudah jadi kehendakNya. Tak patut kita menghakimi sesuatu yang belum pasti kebenarannya." Aku berusaha menenangkan Wati yang tampak gelisah.

Tak kusangka, Wati menjadikan dadaku sebagai sandarannya. Kunikmati saja kegelisahannya. Meskipun tangisnya sampai membasahi baju kaos kesayanganku. Ternyata dibalik kesedihan Wati ada kebahagiaanku yang terselip di sana. Cinta memang terkadang jahat. Tapi memang seperti itulah datangnya. Terutama padaku kali ini.

Kudekap erat pundaknya. Kebelai rambut kepangnya. Semua semata tuk menenangkan kegelisahan hatinya. Meredakan pilu dijiwanya. Meski jelas hatiku yang jadi gelisah karenanya. Dimana ada desir halus yang merambat dalam setiap urat nadiku. Rasa yang berbeda dari biasanya.

Ya Tuhan... apakah ini yang namanya cinta? Apa memang aku sudah terpikat pada Wati? Mengapa kau berikan cara datangnya seperti ini? Disaat kesedihannya datang, justru saat itulah puncak kebahagiaanku menjelma. Rudi hanya bisa berdehem iri melihat kemesraan yang tanpa sengaja, tiba tiba saja tercipta.

"Ehem... ehem...." Rudi mencoba menyadarkan Wati.

"Eh... maaf." Wati menjauhkan wajahnya dari dada bidangku sambil tersenyum malu.

"Kalau kamu mau menangis, menangislah. Aku siap menampung semua kesedihanmu." Jawabku kikuk.

"Aku hanya takut bencana ini semakin besar saja. Mengapa penghuni hutan tak mau sabar menunggu hingga Minggu depan? Bukankah warga desa sudah bersedia menyajikan segala hasil buminya pada mereka?"

"Memang aktivitas mereka setiap pagi apa sich?" Rudi memotong percakapanku dengan Wati.

"Kami biasa ke sungai. Mencuci, ambil air untuk kebutuhan memasak lalu mandi. Setelah itu semua pergi ke lahan masing masing untuk bertani."

"Di sini ada sungai?" Rudi celingak celinguk memandang sekitar.

"Ada. Bersih sekali. Banyak bebatuan dan airnya segar."

"Wahhh... pasti enak berenang di sana. Yuk, Bud. Kita ke sungai."

"Kami biasa menyebutnya kali deres karena aliran airnya deras diantara bebatuan sehingga menciptakan jeram. Selain itu sungainya dangkal, tak terlalu dalam. Jadi kurang nyaman buat berenang." Wati menarik tanganku seolah tak mengizinkanku mengikuti kemauan Rudi.

Akhirnya hari itu kami semua disibukkan dengan pengurusan jenazah anak tetangganya Wati hingga selesai pemakamannya. Kecurigaanku sangat besar pada semua rentetan kejadian ini. Namun sementara ini kusimpan dulu dalam suasana berkabung. Tak akan ada yang percaya padaku jika semua kejadian ini bukan ulah makhluk penghuni hutan itu. Karena mereka lebih takut pada makhluk itu dari pada Tuhan, sepertinya.


Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 8 Nopember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun