Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mesin Tik Itu Masih Ada, di Gudang!

9 September 2012   08:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:43 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tik..tak…tik…tak…tik…tak… Itu bukan bunyi hujan. Tapi, saya maksudkan bunyi mesin tik, he he he. Teringat dulu, tahun 80-an, saat saya mulai menulis naskah dengan mesin tik bermerk Brother. Suara mesin tik itu masih terngiang, menjadi penyemangat saya untuk menulis dan menulis terus.Untuk siapa saya menulis? Tulisan itu saya kirim ke koran. Tentu saja dengan harapan bisa dimuat.

Waktu itu, ada beberapa media yang bersedia memuat tulisan saya, seperti koran Simponi, Swadesi, dan Berita Yudha. Dua koran yang saya sebutkan pertama adalah mingguan, dan yang terakhir adalah harian. Senangnya kalau artikel yang saya kirim dimuat di koran tersebut. Lalu, belakangan saya menulis juga untuk media lain, seperti tabloid Tokoh dan Bali Travel News, juga Bali Express dan Bali Post.

Pekerjaan menulis menjadi ‘sesuatu banget’ bagi saya, kendati dari sisi besaran honornya tak seberapa banyak. Mungkin, karena pengelola koran sedikit punya duit, maka sedikit pula yang bisa diberikan kepada para penulisnya. Tak seperti sekarang honor dikirim melalui bank, tahun 80-an dan 90-an saya masih menerima honor melalui weselpos. Kalau Pak Pos berhenti di depan rumah, biasanya itu pertanda weselpos segera datang. Pokoknya, menyenangkaaaan sekali, he he he.

Sebelum tahun 2000-an, saya selalu menulis dengan tulisan tangan sebagai konsep. Pertama-tama saya buat dulu butir-butir utama yang bakal saya tulis, satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya dengan kalimat-kalimat pendek. Saya urut sedemikian rupa sehingga logis dan sistematis. Baru setelah itu, setiap butir pemikiran itu saya kembangkan menjadi paragraf lengkap. Dalam pengembangan paragraf ini pun saya masih menulis dengan tulisan tangan. Kalau sudah terasa oke, saya pun salin ke mesin tik. Mengetik pun mesti hati-hati. Kalau tidak, naskah yang dihasilkan bakal banyak dibelepoti oleh tipex (pemutih). Kalau sudah begini, kelihatan sekali sang penulis (saya) bekerja tidak rapi alias amburadul. Malu. Jadi, mesti diganti lagi deh. Tak bisa diganti hanya bagian yang salah, tapi satu kertas! Artinya, mengetik ulang.

Pada masa itu, internet belum sekondang sekarang. Sekarang sangat mudah mendapatkan referensi untuk bahan tulisan melalui dunia maya itu. Dulu, orang menulis benar-benar menguras pikiran agar terbentuk rangkaian kalimat yang bernas, berisi. Dari mana asalnya isi tulisan itu? Tak lain lebih banyak dari pemikiran sendiri. Hanya buku-buku dan sedikit sekali koran/majalah yang bisa didapat dan menjadi referensi. Maklum saja, saya tumbuh di sebuah kota kecil yang sangat kurang dalam mengakses informasi.

Namun demikian, keadaan waktu itu sama sekali tak mengurangi gairah menulis. Dengan segala keterbatasan fasilitas yang tersedia, saya pun mengarang dan mengirimkannya ke koran melalui kantor pos terdekat. Orang kantor pos boro-boro sudah memasang senyum, karena mengenal saya yang ‘berlangganan’ datang ke situ. Mereka yang bertugas melayani pengiriman surat tentu tahu kalau saya mengirim ‘surat’ pasti ke koran ini dan itu, he he he. Kantor pos dan petugasnya sudah jadi sahabat saya. Hampir setiap minggu saya akan datang ke sana untuk berkirim surat. Petugas kantor pos pun acap menyambangi rumah saya untuk menyerahkan kiriman.

Baru awal tahun 2000-an saya mulai menggunakan komputer untuk menulis naskah. Itu pun saya sangat ‘gaptek’ sehingga mesti nyaknyak-nyuknyuk, bertanya sana-sini cara memakainya kepada yang lebih muda. Maklum, sudah terbiasa memakai perangkat model lama, yaitu mesin tik bermerk Brother. Polanya, ya, tetap sama, membuat konsep dulu baru kemudian diketik di komputer. Tapi, tak lama kemudian saya pun bisa menuangkan ide langsung di komputer tanpa membuat konsep lengkap seperti sebelumnya. Paling-paling cuma membuat garis-garis besar ide yang akan saya tulis.

Mesin tik bermerk Brother yang saya beli di awal tahun 1980-an itu masih ada. Dia tergeletak di gudang. Dia telah banyak membantu saya menyelesaikan naskah, dulu. Dia berjasa. Kisah tentangnya kini dalam kenangan. Dia pun menggugah saya untuk menulis artikel sederhana ini. Mesin tik itu masih ada, di gudang!

( I Ketut Suweca , 9 September 2012).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun