Gambar tersebut adalah grafik pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari tahun 2021 hingga Maret 2025, yang diambil dari Bloomberg.
Setelah mencatat titik terendah pada pertengahan Maret, IHSG perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi. Menjelang akhir bulan, pasar mencatat relief rally terbatas, dengan kenaikan sebesar 4,03% dalam pekan terakhir sebelum libur Lebaran. Meski demikian, pemulihan tersebut belum cukup untuk mengimbangi kerugian sebelumnya. Hingga akhir kuartal pertama 2025, IHSG ditutup pada level 6.510,62, atau masih mencatat penurunan sekitar 8,04% year-to-date. Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa pelemahan IHSG dari Januari hingga Maret 2025 bukanlah kejadian sementara, melainkan hasil akumulasi tekanan yang terus meningkat akibat perpaduan antara tantangan ekonomi domestik, sentimen negatif global, dan kondisi psikologis investor yang rapuh sepanjang kuartal tersebut.
Faktor Makroekonomi Domestik
Sepanjang kuartal pertama 2025, pasar saham Indonesia menghadapi tekanan makroekonomi domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan oleh enam faktor utama, yaitu tingginya suku bunga, depresiasi nilai tukar rupiah, deflasi, stagnasi konsumsi masyarakat, perlambatan pertumbuhan ekonomi (PDB), serta meningkatnya kekhawatiran terhadap kondisi fiskal negara. Kombinasi tekanan ini menciptakan lingkungan makro yang kurang bersahabat bagi aset berisiko seperti saham.
Bank Indonesia membuka tahun dengan kebijakan pelonggaran moneter melalui pemangkasan suku bunga acuan dari 6,00 persen menjadi 5,75 persen pada bulan Januari. Ini merupakan langkah pelonggaran pertama sejak tahun 2022. Namun, kebijakan tersebut belum mampu memberikan dorongan signifikan terhadap pemulihan ekonomi. Rendahnya inflasi menyebabkan suku bunga riil tetap tinggi, sehingga dorongan terhadap pertumbuhan kredit, konsumsi, serta sektor-sektor padat modal seperti properti dan otomotif masih sangat terbatas akibat tingginya biaya pendanaan.
Nilai tukar rupiah juga mengalami tekanan berat. Pada pertengahan Maret, kurs rupiah melemah hingga mencapai Rp16.520 per dolar AS, menjadi yang terlemah sejak masa awal pandemi. Depresiasi ini didorong oleh penguatan dolar secara global, keluarnya aliran modal asing dari pasar domestik, dan meningkatnya keraguan terhadap keberlanjutan kebijakan fiskal nasional. Melemahnya nilai tukar meningkatkan beban utang perusahaan yang berbasis valuta asing dan memicu imported inflation, yang pada akhirnya memperburuk persepsi risiko terhadap perekonomian Indonesia di mata investor global.
Pada bulan Februari 2025, terjadi deflasi tahunan sebesar minus 0,09 persen, sebuah peristiwa yang mengejutkan karena merupakan yang pertama kali terjadi dalam lebih dari dua dekade. Meskipun sebagian disebabkan oleh kebijakan diskon tarif listrik, deflasi ini memperkuat kekhawatiran pasar terhadap lemahnya permintaan domestik. Indeks Keyakinan Konsumen turun sebesar 0,4 persen secara bulanan pada Januari, suatu anomali karena biasanya awal tahun mencerminkan optimisme masyarakat. Penjualan ritel pun melemah, dari 222 poin pada Desember 2024 menjadi 217 poin pada Januari 2025. Selama dua bulan pertama tahun ini, lebih dari 18.000 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja, dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah dan kecenderungan untuk menunda konsumsi menyebabkan kinerja emiten sektor konsumsi kehilangan momentum.
Situasi ini turut berdampak pada revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional. Bank Indonesia menurunkan target pertumbuhan PDB tahun 2025 menjadi kisaran 4,7 hingga 5,5 persen, dari proyeksi semula sebesar 4,8 hingga 5,6 persen. Sementara Presiden menargetkan angka yang jauh lebih tinggi, yaitu delapan persen, konsensus pelaku pasar justru memperkirakan pertumbuhan hanya akan berada di sekitar lima persen. Revisi ini memperlemah narasi ekspansi ekonomi, menurunkan ekspektasi laba emiten, dan pada akhirnya menekan valuasi pasar saham.
Di sisi eksternal, penopang utama ekonomi nasional yakni surplus neraca perdagangan mulai menunjukkan pelemahan. Surplus perdagangan pada Februari 2025 tercatat sebesar 3,12 miliar dolar AS, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya. Harga komoditas unggulan seperti batubara, minyak kelapa sawit (CPO), dan nikel mengalami koreksi akibat melemahnya permintaan global, terutama dari Tiongkok. Penurunan ini mengurangi kontribusi ekspor bersih terhadap PDB, menurunkan pendapatan negara, dan melemahkan daya tarik saham-saham komoditas yang sebelumnya menjadi tulang punggung IHSG.
Di tengah tekanan yang semakin kuat, muncul pula kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan fiskal. Penerimaan negara mulai melemah, terutama karena penurunan signifikan pada pajak dan PPh dari sektor komoditas. Seiring dengan itu, defisit APBN mulai melebar sejak awal tahun, sementara belanja pemerintah meningkat tajam akibat berbagai program populis dari pemerintahan baru. Beberapa di antaranya adalah program makan bergizi gratis, pendirian sovereign wealth fund Danantara, serta penerbitan Surat Berharga Negara khusus untuk pembiayaan sektor perumahan. Lembaga keuangan global seperti Goldman Sachs bahkan memperkirakan defisit fiskal Indonesia dapat mencapai 2,9 persen dari PDB, mendekati ambang batas maksimal sebesar tiga persen. Ketegangan memuncak ketika muncul rumor bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengundurkan diri akibat perbedaan pandangan dengan Presiden. Meskipun isu tersebut segera dibantah dalam konferensi pers pada tanggal 18 Maret, rumor ini menambah ketidakpastian dan memperdalam krisis kepercayaan di pasar. Banyak pihak menilai bahwa isu tersebut menjadi salah satu pemicu langsung aksi jual besar-besaran di pasar saham yang memicu diberlakukannya mekanisme trading halt.
Keseluruhan kondisi ini membentuk gambaran mengenai situasi stagflasi ringan. Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi melambat, konsumsi tidak bergerak, nilai tukar rupiah tertekan, dan keberlanjutan kebijakan fiskal dipertanyakan. Dalam iklim yang seperti ini, para pelaku pasar mulai menurunkan ekspektasi terhadap kinerja korporasi, menahan diri dari akumulasi saham, bahkan mulai mencairkan portofolio mereka. Koreksi tajam yang dialami IHSG sepanjang kuartal pertama 2025 bukanlah sekadar akibat tekanan teknikal, melainkan mencerminkan penyesuaian menyeluruh terhadap risiko-risiko makroekonomi domestik yang semakin nyata sejak awal tahun.