Mohon tunggu...
Yus Rusila Noor
Yus Rusila Noor Mohon Tunggu... Pekerja Lingkungan

Saya adalah seorang yang sedang belajar. Bagi saya, hidup itu adalah proses belajar, dan belajar itu adalah proses seumur hidup .... Iqra

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pengembara Bersayap: Kisah Perjuangan Para Burung Migran dan World Migratory Bird Day 2025

12 Oktober 2025   17:44 Diperbarui: 14 Oktober 2025   06:34 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Migrasi Burung | Pixabay


Yus Rusila Noor

yus.noor@gmail.com 

Pantai berlumpur di pesisir timur Sumatra itu mulai diwarnai oleh tubuh-tubuh kecil berbulu dengan beragam bentuk paruh, sebagian bergerak cepat sambil paruhnya aktif mengambil makanan di permukaan tanah dan sebagian lainnya melangkah satu demi satu langkah sambil menusuk-nusukan paruhnya ke dalam lumpur. 

Mereka sedang transit di pesisir wilayah Indonesia dalam sebuah perjalanan epik dari tempat berbiaknya di Siberia menuju surga musim dingin di negara-negara Pasifik. 

Mereka adalah para penjelajah udara, pelaku dari salah satu drama terbesar alam yang seringkali luput dari pandangan manusia. Setiap kepakan sayap mereka adalah sebuah ritme dari naluri purba untuk bertahan hidup. 

Setiap tahun, dunia berkumpul untuk memahami, merayakan, dan melindungi perjalanan mereka dalam peringatan yang disebut World Migratory Bird Day (WMBD). Pada tahun 2025, seruan temanya bergema seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu "Menciptakan Kota dan Masyarakat yang Ramah Burung" - Creating Bird-Friendly Cities & Communities.

Tema Hari Burung Bermigrasi Sedunia 2025
Tema Hari Burung Bermigrasi Sedunia 2025

Dari Sebuah Ide Kecil Menjadi Seruan Global

Kisah WMBD bermula bukan di sebuah balai sidang PBB yang megah, melainkan dari keprihatinan para ilmuwan dan pencinta burung di Amerika Serikat pada tahun 1993. Mereka melihat betapa sedikitnya perhatian yang diberikan kepada burung-burung yang menghubungkan benua dengan sayap mereka. Maka, lahirlah "International Migratory Bird Day" sebagai sebuah upaya lokal untuk menyuarakan pentingnya konservasi.

Namun, pesan itu ternyata terlalu penting untuk dibiarkan tetap dalam skala lokal. Burung-burung ini tidak mengenal batas negara, mereka adalah warga dunia. Menyadari hal ini, dua badan PBB, yaitu Konvensi tentang Konservasi Spesies Satwa Liar Bermigrasi (CMS) dan Perjanjian Burung Air Afrika-Eurasia (AEWA), mengadopsi inisiatif ini pada tahun 2006 dan mengubahnya menjadi sebuah kampanye global. World Migratory Bird Day pun lahir.

Yang unik dari perayaan ini adalah terjadinya dua kali dalam setahun, tepatnya pada Sabtu kedua di bulan Mei dan Oktober. Ini adalah pengakuan yang bijaksana terhadap luasnya planet kita. 

Bumi belahan utara dan selatan mengalami musim yang berbeda, sehingga puncak migrasipun berlainan. Dengan merayakannya dua kali, kita memastikan bahwa dari Eropa hingga Afrika, dari Asia hingga Australia, setiap komunitas dapat menyambut para burung migran tepat ketika mereka tiba atau melintas. Pada tahun 2025, dunia akan mengangkat tangan dua kali, pada 10 Mei dan 11 Oktober.

Siapakah Para Penjelajah Udara Ini?

Mereka bukan sekadar burung yang terbang dari satu tempat ke tempat lain. Mereka adalah para navigator ulung, atlet ketahanan, dan pelaku dari sebuah perjalanan yang penuh bahaya. Mereka adalah spesies yang melakukan perjalanan musiman secara teratur, sebuah ritual yang didorong oleh desakan alam yang tak terbantahkan.

Mereka terbang untuk mencari makanan, ketika musim dingin membekukan Eropa dan Asia, sehingga sumber makanan menjadi menyusut. Maka, burung-burung migran memulai eksodus besar-besaran untuk menemukan tempat mencari makan yang hangat dan penuh kelimpahan. Ketika musimnya lebih hangat, kawasan Arktik yang dingin dan keras justru menjadi tempat yang sempurna bagi Burung Gajahan Timur untuk membesarkan anak-anaknya, karena hari yang panjang memberi mereka lebih banyak waktu untuk mencari makan dan sedikitnya ancaman pemangsa.

Perjalanan rombongan burung air migran adalah sebuah fenomena yang penuh dengan keajaiban. Bayangkan, Burung Kedidi Paruh Sendok, dengan tubuhnya yang mungil, mengarungi jarak lebih dari 8.000-kilometer dari Rusia menuju Asia Tenggara. 

Boleh juga diperhatikan burung Camar Arktik, sang legenda hidup, yang dalam setahun bisa menempuh jarak setara pergi ke bulan dan kembali, sebuah maraton sepanjang 90.000 kilometer. Mereka menggunakan peta bintang, medan magnet bumi, dan bahkan penciuman untuk menemukan jalan. 

Namun, di balik kisah kepahlawanan tersebut, tersembunyi sebuah ketergantungan yang mendalam pada sebuah sumber daya yang sering kita anggap remeh, yaitu lahan basah.

WMBD 2025, Simfoni yang Bergantung pada Kehadiran Lahan Basah

Tema "Menciptakan Kota dan Masyarakat yang Ramah Burung" untuk tahun 2025 bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah pengakuan bahwa di balik setiap penerbangan epik, terdapat jaringan oasis yang menjadi penopang hidup. Bagi burung migran, ekosistem perairan adalah segala-galanya.

Lahan basah, berupa danau, sungai, dan rawa-rawa berfungsi sebagai stasiun pengisian bahan bakar. Sebelum menyeberangi gurun atau lautan luas, burung-burung ini harus menimbun cadangan lemak. 

Tempat-tempat inilah yang menyediakan banquet bagi mereka, ikan, serangga air, dan tumbuhan yang melimpah. 

Di sini, mereka bisa beristirahat, minum, dan memulihkan tenaga untuk etape perjalanan berikutnya. Tempat-tempat ini juga menjadi tempat berkembang biak yang aman dan tempat mereka menghabiskan musim dingin.

Namun, simfoni yang indah ini mulai sumbang. Jaringan kehidupan yang vital ini sedang terancam. Polusi dari limbah pertanian dan industri meracuni perairan, membunuh sumber makanan dan secara perlahan meracuni burung-burung itu sendiri. 

Lahan basah, yang sering disalahartikan sebagai lahan tak berguna, terus-menerus dikeringkan dan diubah menjadi lahan pertanian atau kawasan industri. Setiap hektar lahan basah yang hilang adalah seperti mencabut satu stasiun pom bensin dari peta perjalanan panjang mereka.

Krisis iklim memperburuk keadaan. Kekeringan yang lebih panjang dan lebih intens mengeringkan danau-danau yang biasanya menjadi penanda arah. Sementara itu, naiknya permukaan air laut mengancam untuk menenggelamkan hutan bakau dan dataran lumpur pantai yang menjadi habitat penting burung air untuk beristirahat dan mencari makan. 

Bayangkan betapa tragisnya ketika sekawanan burung yang telah terbang sejauh ribuan kilometer, dengan harapan dan kelelahan, tiba di sebuah danau yang menjadi tujuan akhirnya, hanya untuk menemukan bahwa danau itu telah mengering menjadi hamparan tanah retak. Itulah kenyataan pahit yang mulai mereka hadapi.

Sebuah Seruan untuk Tindakan guna Menjaga Oasis bagi Para Penjelajah

World Migratory Bird Day 2025 pada akhirnya adalah sebuah seruan. Ia mengajak kita untuk tidak hanya mengagumi keindahan dan kekuatan migrasi, tetapi juga untuk mengambil peran dalam melestarikannya. Melindungi burung migran adalah sebuah tanggung jawab kolektif, karena mereka adalah penghubung hidup antara bangsa-bangsa.

Kita bisa mulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana. Kita bisa bergabung dengan komunitas pengamat burung pada hari WMBD, menyambut para penjelajah ini dengan rasa kagum dan bukannya dengan ancaman. 

Kita bisa menjadi ilmuwan warga dengan mencatat penampakan burung di Sensus Burung Asia (AWC), misalnya, berkontribusi memberikan data berharga bagi para peneliti. 

Di rumah, kita bisa lebih bijak menggunakan air dan menghindari membuang sampah atau bahan kimia ke saluran air, memastikan tetesan yang keluar dari rumah kita tidak menjadi racun bagi ekosistem yang lebih luas.

Pada tingkat yang lebih luas, dukungan kita berikan untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan yang melindungi kawasan lahan basah dan mengurangi polusi. 

Dengan menyebarkan kesadaran, dengan bercerita tentang perjalanan luar biasa Camar Arktik atau Kedidi Paruh Sendok, kita membantu menulis babak baru bagi cerita mereka, sebuah babak di dimana manusia hadir sebagai penjaga, bukan sebagai ancaman.

Sebuah Ritme yang Harus Terus Berdetak

World Migratory Bird Day 2025 mengajak kita untuk mendengarkan. Mendengarkan kepakan sayap dan cericit burung air di lahan basah, dan memahami bahwa di dalamnya terdapat kisah ketergantungan yang dalam pada planet kita. Setiap tetesan air yang bersih, setiap lahan basah yang terlindungi, adalah sebuah nota dalam simfoni agung migrasi ini. 

Dengan menjaga air, kita bukan hanya menjaga burung-burung, kita menjaga sebuah ritme alam yang telah berdetak jauh sebelum kita hadir, sebuah ritme yang, dengan kebijaksanaan dan kepedulian kita, akan terus berdetak jauh setelah kita pergi. Mari jaga bersama oasis bagi para penjelajah yang kehausan ini.

(Tulisan ini diselesaikan dalam "migrasi" di gemuruh mesin KLM antara Jakarta dan Amsterdam, 11 Oktober 2025)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun