Agama Tak Lagi Jadi Rem Moral
Indonesia dikenal sebagai negara religius. Tempat ibadah berdiri megah di berbagai pelosok, kalender kita dipenuhi hari besar keagamaan, dan dalam hampir setiap acara resmi, doa jadi pembuka yang wajib. Tapi ironisnya, di tengah wajah religius ini, kasus korupsi terus bermunculan.
Orang-orang yang rajin beribadah, mengutip ayat atau doa dalam pidato, tak jarang justru tersandung kasus korupsi. Kita pun bertanya-tanya: mengapa ajaran agama yang seharusnya menjadi benteng moral justru gagal membendung perilaku koruptif?
Simbol Religius Tak Sama dengan Moral Religius
Kita mudah terkecoh oleh tampilan luar. Seolah jika seseorang rajin ke tempat ibadah atau memakai simbol keagamaan, maka ia pasti bermoral tinggi. Tapi kenyataan berkata lain. Nilai-nilai inti seperti kejujuran, amanah, dan tanggung jawab kerap dikesampingkan, digantikan ambisi dan kepentingan pribadi.
Agama, yang sejatinya menjadi jalan hidup yang jujur dan adil, malah diperlakukan seperti kostum yang bisa dikenakan saat dibutuhkan—untuk pencitraan, pengaruh, atau bahkan alibi saat diperiksa.
Ketika Ibadah Kehilangan Makna
Apa gunanya salat lima waktu, misa mingguan, meditasi, atau puja harian—jika praktiknya tidak membentuk pribadi yang jujur? Agama menjadi sebatas ritual tanpa ruh. Ibadah dilakukan, tapi perilaku tak berubah. Ini bukan krisis spiritual semata, tapi bentuk degradasi moral yang nyata.
Kita melihat individu yang rajin menjalankan kewajiban agamanya, tetapi dalam keseharian tidak segan menyuap, menerima gratifikasi, atau menyelewengkan dana publik. Di sinilah agama kehilangan fungsinya sebagai kompas moral.
Korupsi Tak Pandang Latar Belakang
Korupsi bukan soal agama. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja—apapun latar keyakinannya. Contohnya banyak.
-
Juliari P. Batubara, mantan Menteri Sosial, divonis karena korupsi dana bantuan sosial COVID-19, di tengah penderitaan rakyat. Ia dikenal aktif secara religius dan tampil “bersih”, tapi justru menyelewengkan dana umat [sumber].
Pendeta Hein Arina, Modus operandi yang digunakan para tersangka antara lain menganggarkan dana hibah tidak sesuai aturan, menggunakan dana hibah secara melawan hukum. Meski kasus ini tak semua berakhir dengan vonis pidana, publik terkejut karena kasus itu mencederai kepercayaan umat [sumber].
Di berbagai wilayah di Indonesia, kepala sekolah dari pelbagai institusi pendidikan, diberitakan banyak melakukan pemotongan dana bantuan PIP untuk siswa yang kurang mampu, hingga ratusan juta rupiah.