Mohon tunggu...
Danu Asmara
Danu Asmara Mohon Tunggu... Pengamat Tiga pilar pembentuk karakter bangsa: Hukum, Pendidikan dan Keluarga.

Orang tua yang prihatin dengan degradasi moral generasi muda.Pekerja yang prihatin dengan lemahnya pengawasan Pemerintah terhadap UU Ketenagakerjaan. Warga negara yang prihatin dengan nasib bangsa yang digerogoti oleh pengkhianatan (baca: KORUPSI).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Degradasi Moral: (3) Korupsi sebagai Gejala Sistemik

31 Mei 2025   06:30 Diperbarui: 30 Mei 2025   09:59 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: Koruptor yang merugikan masyarakat Indonesia (Sumber: Sora image generator)

Korupsi sebagai Gejala Sistemik

Bukan Sekadar Soal Uang

Kalau bicara soal korupsi, yang terlintas di benak kita biasanya adalah angka besar dan politikus yang akhirnya tersenyum saat keluar dari pengadilan. Tapi korupsi sebenarnya lebih dalam dari sekadar uang. Ia merusak kepercayaan. Ia menggerogoti harapan. Ketika seseorang menyogok demi kelulusan, ketika dana bantuan tak sampai ke warga yang membutuhkan—saat itulah kita menyaksikan pelan-pelan hancurnya fondasi moral bangsa.

Akar Diam dan Budaya "Sudah Biasa"

Korupsi bukan hal baru. Dari zaman Orde Baru hingga sekarang, praktik menyimpang ini seperti penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Ironisnya, masyarakat juga turut menyuburkannya. Ada yang berpikir, “Semua orang juga begitu, ngapain repot?” Padahal, diam kita itu bisa berarti restu tak langsung. Kita terbiasa melihat pungli di jalan, calo di kantor, atau dana proyek yang ‘disunat’, lalu memilih tutup mata.

Sistem yang Bikin Orang Jujur Ditinggalkan

Banyak orang bilang, untuk bertahan di sistem ini, harus pintar-pintar cari celah. Yang jujur malah dibilang bodoh. Birokrasi yang ruwet dan target yang tinggi seringkali justru mendorong pegawai untuk mencari “jalan pintas”. Misalnya, oknum guru yang meminta “uang pelicin” untuk uang bangku pada saat penerimaan siswa, atau aparat desa yang memotong bantuan sosial sebelum sampai ke warga. Di banyak tempat, ini dianggap hal wajar. Tapi kita lupa, setiap rupiah yang diselewengkan bisa berarti nasi yang tak jadi dimakan oleh yang membutuhkan.

Korupsi yang Dekat dengan Hidup Kita

Coba kita lihat satu contoh nyata: kasus pungutan liar di sekolah yang viral di media sosial, di mana orang tua siswa dipaksa membayar ratusan ribu untuk “uang perpisahan”, “uang komite”, bahkan “uang fotokopi”. Padahal tidak semua keluarga mampu. Atau lebih parah lagi-terbaru, kasus Eks Kepala Desa di Sitinjo, Sumatera Utara yang jadi tersangka korupsi dana desa sebesar Rp527 juta untuk kepentingan pribadi. Ini bukan sekadar angka, tapi tentang nasib warga yang seharusnya mendapat fasilitas dasar.

Tahun lalu, Indonesia juga dikejutkan dengan kasus mega korupsi PT Timah yang berakibat pada kerugian keuangan negara sebesar 271 triliun. Sebuah angka yang fantastis dan memuakkan! 

Hukum Tak Lagi Menakutkan

Sayangnya, banyak dari para pelaku korupsi yang tidak benar-benar menyesal. Mereka dihukum ringan, bahkan kadang bisa hidup nyaman di dalam penjara. Kasus suap eks Gubernur Papua, Lukas Enembe, jadi sorotan karena gaya hidup mewahnya dan dugaan aliran dana yang mencapai ratusan miliar rupiah. Banyak yang bertanya: kenapa hukuman koruptor bisa terasa begitu ringan dibandingkan dengan kejahatan lain?

Perlawanan Diam-diam yang Punya Arti

Meski terlihat gelap, masih ada harapan. Banyak juga masyarakat yang mulai melawan. Seorang pegawai kantor pajak misalnya, memilih keluar dari pekerjaannya karena tak tahan melihat budaya sogok-menyogok di internal. Beberapa daerah sudah mulai menerapkan e-budgeting untuk transparansi anggaran. Program whistleblower KPK juga memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan kasus tanpa takut dibungkam.

Pertanyaan untuk Kita Semua

Di titik ini, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan lagi “siapa yang korup?”, tapi “apakah saya membiarkan korupsi terjadi?”. Korupsi tak bisa dibasmi dengan undang-undang semata. Ia hanya bisa dihentikan jika kita, sebagai warga, berhenti menoleransi yang salah, sekecil apapun itu.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pemimpin harus memberi contoh, di tengah masyarakat harus membangun semangat, dan dari belakang harus memberi dorongan. Jika pemimpin saja sudah bobrok, bagaimana rakyat bisa menaruh harapan?

Korupsi bukan hanya masalah hukum, tapi masalah hati. Dan hati yang bersih, hanya bisa tumbuh dalam budaya yang menjunjung tinggi kejujuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun