Krisis Sopan Santun di Tengah Modernitas
Suatu sore, seorang anak muda naik ke dalam angkutan umum sambil mengenakan headset. Ia menyenggol penumpang lanjut usia, lalu duduk di kursi tanpa menoleh apalagi meminta maaf. Tak ada niat buruk, barangkali. Tapi pemandangan itu semakin sering terjadi---seolah kita terbiasa dengan hilangnya tata krama.
Fenomena ini bukan sekadar kejadian sepele. Ia adalah gejala bahwa sopan santun---salah satu pilar moral utama dalam budaya Indonesia---sedang mengalami kemunduran. Generasi muda, terutama anak-anak dari generasi orang tua Gen Z dan Milenial, kini tumbuh di tengah lingkungan yang menggeser nilai-nilai kesantunan menjadi sesuatu yang usang.
Mengapa Tata Krama Merosot?
Banyak yang menyalahkan teknologi. Tapi sebenarnya, degradasi sopan santun berakar dari beberapa faktor yang saling terkait. Pertama, pola asuh orang tua masa kini cenderung permisif. Dalam semangat menjadi "teman bagi anak," banyak orang tua menghindari koreksi dan membiarkan anak mengekspresikan diri tanpa batas. Akibatnya, anak tidak terbiasa dengan batasan sopan santun dasar, seperti menyapa orang tua, mengucapkan maaf, atau berbicara dengan nada hormat.
Kedua, budaya digital mempercepat kemunduran etika. Media sosial adalah ruang tanpa filter, di mana gaya bicara frontal dan nyinyir sering mendapat validasi dalam bentuk "likes" dan komentar. Anak-anak meniru gaya ini dalam interaksi nyata. Ketiga, pendidikan karakter di sekolah masih bersifat simbolik---lebih banyak berupa slogan ketimbang praktik.
Terakhir, panutan publik---baik selebritas maupun influencer---lebih sering menampilkan gaya bicara bebas, bahkan kasar, dengan dalih kejujuran dan ekspresi diri (kita akan membahas secara khusus mengenai ini). Dalam dunia seperti ini, "permisi", "tolong", dan "terima kasih" menjadi bahasa yang asing.
Wajah Baru Ketidaksantunan
Di rumah, kita menyaksikan anak yang berbicara dengan nada tinggi kepada orang tua, bahkan menyela tanpa rasa bersalah. Di sekolah, guru tak lagi dihormati sebagaimana dahulu; panggilan akrab, membantah tanpa sopan, hingga melawan secara verbal menjadi hal lumrah.
Di media sosial, remaja berlomba meninggalkan komentar sarkastik, menghina fisik orang lain, atau menyebar kebencian. Sopan santun dianggap basi, kuno, dan tidak relevan. Di ruang publik, antrean dilanggar, kursi prioritas diabaikan, bahkan senyum dan salam menjadi barang langka.
Dampak yang Tak Bisa Diabaikan
Apa akibat dari semua ini? Pertama, komunikasi antargenerasi menjadi renggang. Orang tua merasa kehilangan respek, sementara anak merasa tak lagi perlu menghormati karena "semua orang sama."
Kedua, relasi sosial menjadi tegang. Kurangnya sopan santun membuka ruang bagi konflik kecil menjadi besar. Ketiga, hilangnya etika mempercepat degradasi moral dalam bentuk lain---ketika seseorang tidak tahu malu untuk bersikap kasar, maka tidak sulit baginya untuk menipu atau menyakiti orang lain.
Tata Krama Adalah Identitas Bangsa
Indonesia adalah negeri yang menjunjung tinggi tata krama. Dalam budaya Jawa, dikenal konsep "unggah-ungguh"---sistem etiket yang kompleks untuk menunjukkan rasa hormat. Di Sunda, kata "someah" mengandung makna keramahan yang penuh empati. Budaya Minang, Bugis, Batak, dan lainnya pun menempatkan kesantunan sebagai bagian dari kehormatan keluarga.