Mohon tunggu...
Danu Asmara
Danu Asmara Mohon Tunggu... Pengamat Tiga pilar pembentuk karakter bangsa: Hukum, Pendidikan dan Keluarga.

Orang tua yang prihatin dengan degradasi moral generasi muda.Pekerja yang prihatin dengan lemahnya pengawasan Pemerintah terhadap UU Ketenagakerjaan. Warga negara yang prihatin dengan nasib bangsa yang digerogoti oleh pengkhianatan (baca: KORUPSI).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Degradasi Moral: (2) Ketika Kejujuran Tak Lagi Diperjuangkan

30 Mei 2025   06:30 Diperbarui: 29 Mei 2025   20:29 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: Ketika kejujuran tak lagi diperjuangkan (Sumber: Sora image generator)

Kejujuran yang Kini Dianggap Lugu

Di suatu kelas, seorang siswa yang menolak mencontek justru diledek oleh teman-temannya: “Sok suci amat, yang penting lulus, Bro.” Di kantor, pegawai yang jujur melaporkan kekeliruan malah dimusuhi karena dianggap membahayakan tim. Realita seperti ini kini akrab di telinga kita—kejujuran tak lagi dihargai, bahkan sering dianggap hambatan atau keluguan.

Di tengah masyarakat yang semakin kompetitif, nilai kejujuran mengalami pergeseran makna. Yang licik dianggap cerdas. Yang jujur dianggap naif. Inilah tanda-tanda jelas bahwa kita tengah menghadapi krisis nilai, di mana ketidakjujuran bukan hanya dimaafkan—tetapi dinormalisasi.

Budaya Bohong yang Membudaya

Yang penting hasil,” “asal nggak ketahuan,” “bohong kecil nggak apa-apa”—ungkapan-ungkapan ini menandai bagaimana ketidakjujuran sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dari mencontek saat ujian, berbohong saat absen kerja, hingga manipulasi data dalam laporan, semua dilakukan dengan alasan efisiensi, loyalitas, atau demi kelangsungan hidup.

Lebih parah lagi, ketika perilaku tidak jujur bukan hanya terjadi, tetapi dirayakan. Saat seseorang lolos dari hukuman karena “pintar menyiasati”, ia dianggap cerdik. Padahal, inilah awal dari pembusukan moral sistemik.

Ketidakjujuran Sejak Usia Dini

Ironisnya, ketidakjujuran seringkali mulai dari rumah. Orang tua yang menyuruh anaknya berkata “Mama nggak ada” saat ada tamu, atau membenarkan kecurangan demi prestasi, secara tidak sadar sedang merusak fondasi moral anak. Anak-anak belajar dari teladan, dan ketika kebohongan dianggap tak berdosa, kejujuran kehilangan maknanya.

Sekolah pun ikut andil dalam masalah ini. Tekanan pada nilai dan ranking seringkali membuat siswa menempuh jalan pintas: mencontek, membeli jawaban, bahkan membayar jasa pembuatan tugas. Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter, justru memperkuat praktik ketidakjujuran karena lebih mengutamakan hasil akhir dibanding proses belajar.

Ketidakjujuran dalam Dunia Kerja

Di lingkungan profesional, ketidakjujuran sudah dianggap sebagai “strategi bertahan hidup”. Dari memanipulasi data proyek, menyembunyikan kesalahan, hingga melakukan mark up anggaran, semuanya dianggap “sudah biasa”. Budaya ABS (Asal Bapak Senang) memperparah keadaan, di mana fakta dikaburkan agar atasan merasa puas, bukan demi kebenaran.

Bahkan dalam proses rekrutmen, manipulasi CV atau pencitraan berlebihan menjadi lumrah. Ketika ketidakjujuran menjadi norma tak tertulis, kepercayaan dan integritas runtuh pelan-pelan.

Dusta dalam Politik dan Sosial

Di tingkat yang lebih luas, ketidakjujuran menjelma menjadi penyakit sosial: janji kampanye palsu, pencitraan berlebihan di media, hoaks yang sengaja disebar untuk kepentingan politik. Dalam masyarakat, kita melihat praktik seperti pungli, pemalsuan surat, hingga korupsi bantuan sosial sebagai bentuk nyata kebohongan yang dilegalkan.

Masyarakat pun semakin skeptis. Ketika bohong menjadi alat kekuasaan dan keuntungan, siapa lagi yang bisa dipercaya?

Dampaknya: Ketidakpercayaan dan Kekacauan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun