Mohon tunggu...
Danu Asmara
Danu Asmara Mohon Tunggu... Pengamat Tiga pilar pembentuk karakter bangsa: Hukum, Pendidikan dan Keluarga.

Orang tua yang prihatin dengan degradasi moral generasi muda.Pekerja yang prihatin dengan lemahnya pengawasan Pemerintah terhadap UU Ketenagakerjaan. Warga negara yang prihatin dengan nasib bangsa yang digerogoti oleh pengkhianatan (baca: KORUPSI).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

(3) Peran Negara dalam Pengawasan Sekolah Terkait Pencegahan dan Pemulihan Korban Bullying

27 Mei 2025   15:04 Diperbarui: 27 Mei 2025   15:04 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: Peran Negara terhadap kasus Bullying tidak hanya simbolis belaka (Sumber: SORA image generator)

Pendahuluan

Kasus bullying di sekolah masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental dan masa depan anak-anak Indonesia. Bullying tidak hanya berdampak pada korban secara psikologis dan sosial, tetapi juga menghambat tumbuh kembang dan semangat belajar anak. Negara, sebagai pemegang mandat perlindungan anak, tidak hanya memiliki kewajiban moral, tetapi juga tanggung jawab hukum dalam memastikan sekolah sebagai tempat yang aman, ramah, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Tulisan ini membahas bagaimana negara berperan aktif dalam mencegah dan menangani bullying di sekolah melalui regulasi, pengawasan, pencegahan, pemulihan, dan penegakan sanksi administratif bagi satuan pendidikan yang lalai menjalankan kewajiban tersebut.

Landasan Hukum dan Regulasi

Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang kuat dalam perlindungan anak dari kekerasan di sekolah:

  • Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 76C dan 76D, melarang keras kekerasan fisik dan psikis terhadap anak dalam bentuk apapun.

  • Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 ayat (1), menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif.

  • Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan mewajibkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) di sekolah dan menyediakan mekanisme pelaporan.

  • Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan memperbarui pendekatan dengan menekankan pelibatan psikolog dan jaminan kerahasiaan bagi pelapor.

Peran Strategis Negara dalam Pengawasan Sekolah

Regulasi dan Kebijakan

Negara memiliki tanggung jawab untuk mendorong implementasi SOP anti-kekerasan di sekolah serta mendukung pendirian tim pencegahan kekerasan. Sekolah wajib menyusun peta risiko kekerasan dan melakukan sosialisasi kode etik kepada seluruh warga sekolah, sebagaimana diamanatkan oleh Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023.

Pengawasan dan Evaluasi

Pengawasan dilakukan melalui audit berkala oleh Dinas Pendidikan, KPAI, dan pengawas sekolah. Evaluasi difokuskan pada:

  • Ketersediaan saluran aduan yang mudah diakses siswa.

  • Kecepatan dan keberpihakan dalam penanganan kasus.

  • Implementasi budaya sekolah yang mendukung rasa aman dan hormat.

Keterlibatan publik juga diperlukan, melalui forum orang tua dan siswa dalam pengawasan bersama.

Sanksi dan Tindakan Hukum

Jika sekolah terbukti lalai menjalankan kewajiban pencegahan kekerasan, negara dapat menjatuhkan sanksi administratif, sesuai dengan:

  • Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa satuan pendidikan yang tidak memenuhi ketentuan standar nasional pendidikan dapat dikenai sanksi berupa teguran, pembinaan, hingga pencabutan izin operasional.

  • Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023, Pasal 26 menegaskan sanksi administratif bagi kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan satuan pendidikan berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap dari jabatan.

  • Dalam kasus kekerasan berat, dapat juga diterapkan sanksi pidana sesuai KUHP atau UU Perlindungan Anak.

Peran Negara dalam Pencegahan Bullying

Pendidikan Karakter dan Literasi Emosi

Negara wajib memasukkan nilai-nilai karakter seperti empati, gotong royong, dan tanggung jawab dalam kurikulum. Guru perlu diberi pelatihan rutin tentang pendekatan psikologi perkembangan anak dan pendekatan restoratif untuk menangani konflik secara edukatif, bukan represif.

Kampanye Nasional dan Media Edukasi

Kampanye publik seperti "Sekolah Ramah Anak" dan "Suara Anak Aman" penting untuk membentuk kesadaran kolektif. Pemerintah pusat, melalui Kemdikbudristek dan KemenPPPA, dapat bekerja sama dengan media massa dan influencer untuk menyuarakan gerakan anti-bullying secara konsisten.

Pemberdayaan Komunitas Sekolah

Negara harus mendorong terbentuknya ekosistem perlindungan anak di sekolah. Forum siswa, komite sekolah, dan orang tua dilibatkan dalam penyusunan dan pengawasan kode etik sekolah serta sebagai bagian dari TPPK. Ini memperkuat mekanisme pengawasan internal berbasis komunitas.

Peran Negara dalam Pemulihan Korban dan Pelaku

Dukungan Psikososial

Negara perlu memastikan bahwa sekolah memiliki akses ke layanan konseling dan pendampingan psikologis. Jika tidak tersedia di sekolah, layanan ini harus difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui Puskesmas atau Lembaga Perlindungan Anak.

Korban dan pelaku yang masih anak-anak harus dipulihkan secara menyeluruh, bukan sekadar dipindahkan atau dihukum.

Restorative Justice dan Mediasi Sekolah

Restorative justice memberi ruang dialog bagi korban dan pelaku dengan fasilitasi profesional (konselor atau psikolog). Hal ini mendorong rasa tanggung jawab, pemahaman dampak tindakan, dan mencegah balas dendam.

Pemerintah daerah dapat mendukung pembentukan pusat mediasi sekolah sebagai bagian dari program perlindungan anak terpadu.

Monitoring Pemulihan

Pemulihan tidak bisa hanya sekali jalan. Negara melalui KPAI dan Dinas Pendidikan harus mengawasi proses pemulihan melalui:

  • Laporan berkala dari konselor sekolah.

  • Survei pengalaman siswa.

  • Evaluasi terhadap perbaikan sistem dan budaya sekolah pasca kasus.

Sinergi Antar Lembaga

Penanganan bullying adalah isu lintas sektor. Pemerintah perlu mendorong sinergi antara:

  • KPAI dan Kementerian Pendidikan untuk pengawasan dan pelaporan.

  • KemenPPPA untuk layanan perlindungan anak.

  • Polri dan Kejaksaan untuk penegakan hukum.

  • UPTD PPPA dengan Komite Sekolah

MoU antar lembaga sangat diperlukan untuk mempercepat pertukaran data dan penyelesaian kasus secara holistik.

Penutup

Pencegahan dan pemulihan bullying adalah tugas besar yang tak bisa dipikul satu pihak saja. Negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengawasi, mendidik, dan memulihkan semua pihak yang terdampak. Ketika sekolah gagal menciptakan lingkungan yang aman, negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga pelindung aktif anak-anak Indonesia.

Mewujudkan sekolah yang benar-benar ramah anak adalah kerja kolektif dan berkesinambungan---dan negara memegang kunci utamanya.

Peran komite sekolah sangat krusial dalam pencegahan dan penanganan bullying karena mereka adalah representasi masyarakat dalam mengawasi jalannya penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks perlindungan anak, komite sekolah bukan hanya mitra administratif sekolah, tetapi juga kontrol sosial dan moral terhadap tata kelola sekolah, termasuk isu bullying. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun