Pada usia 13 hingga 15 tahun, seorang anak tengah berada di gerbang masa remaja --- masa pencarian jati diri, masa ketika suara teman bisa terasa lebih lantang dari suara orang tua. Di balik perubahan fisik dan hormonal yang sering mencolok, ada perubahan emosi dan sosial yang kadang lebih sunyi --- dan lebih rentan terluka. Bullying di usia ini bukan sekadar ejekan atau candaan yang kelewat batas. Ini bisa jadi bentuk kekerasan emosional yang pelan-pelan mencabik rasa percaya diri dan keamanan seorang anak.
Tidak sedikit anak yang menjadi korban bullying mengalami gejala psikologis berat, dan salah satu dampak terparahnya adalah Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Ini bukan sekadar trauma sesaat. Ini adalah luka batin yang bisa menetap bertahun-tahun, bahkan ketika si anak sudah tumbuh dewasa. Mereka mungkin tampak biasa saja di luar, tapi setiap hari harus bergumul dengan mimpi buruk, rasa takut berlebihan, hingga keengganan bersosialisasi. Ada anak-anak yang jadi menarik diri dari sekolah, ada pula yang mulai menyakiti dirinya sendiri --- semua berawal dari pengalaman traumatis yang tak pernah dianggap serius.
Penelitian dari Copeland dan koleganya (2013) dalam JAMA Psychiatry mengungkap bahwa anak yang dibully memiliki risiko hingga empat kali lipat lebih besar mengalami gangguan kejiwaan di masa dewasa, termasuk PTSD. Penelitian lain oleh Alisic et al. (2014) menunjukkan bahwa dukungan dari orang tua dan sekolah punya peran besar dalam pemulihan trauma pada anak. Namun sayangnya, tidak semua lingkungan siap melihat luka yang tak berdarah ini.
Banyak anak yang menyimpan diam luka-luka itu, karena mereka takut dianggap lemah, atau justru karena tidak ada orang dewasa yang cukup peka untuk bertanya, "Apa kamu baik-baik saja?" Dan lebih menyakitkan lagi ketika lingkungan justru menyalahkan mereka --- menyuruh mereka jadi lebih kuat, atau menertawakan "drama" yang mereka alami.
Pesan yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, patut kita renungkan:
"Bullying bisa menjadi luka permanen dalam jiwa anak. Tidak terlihat, tapi sangat menghancurkan. Kita wajib hadir sebagai pelindung dan penyembuh, bukan penonton."
Kalau kita sungguh peduli pada generasi muda, maka perhatian kita tak boleh berhenti di nilai rapor atau kelulusan. Kita juga harus melihat seberapa tenang mereka tidur, seberapa aman mereka merasa di kelas, dan apakah mereka tersenyum karena bahagia --- atau karena tak punya pilihan lain.
PTSD adalah panggilan darurat dari jiwa anak yang tak sanggup lagi menanggung tekanan. Sudah saatnya kita, sebagai orang dewasa, bukan hanya mengajarkan anak menjadi kuat, tapi juga menciptakan dunia yang tidak menyakiti mereka sejak dini.
Bagaimana dengan lingkungan Sekolah, apakah sudah menjadi dunia yang tidak hanya sekedar tempat menimba ilmu, tetapi menjadi lingkungan yang ramah dan memberikan perlindungan yang setara bagi anak didiknya?
Referensi Ilmiah: