Mohon tunggu...
Danu Asmara
Danu Asmara Mohon Tunggu... Pengamat Tiga pilar pembentuk karakter bangsa: Hukum, Pendidikan dan Keluarga.

Orang tua yang prihatin dengan degradasi moral generasi muda.Pekerja yang prihatin dengan lemahnya pengawasan Pemerintah terhadap UU Ketenagakerjaan. Warga negara yang prihatin dengan nasib bangsa yang digerogoti oleh pengkhianatan (baca: KORUPSI).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Barak Militer ala KDM: Wilderness Therapy Versi Lokal?

23 Mei 2025   15:11 Diperbarui: 23 Mei 2025   15:11 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi pendidikan karakter remaja dengan mentor (Sumber: Sora image generator)

           Remaja usia 15–17 tahun adalah fase kritis dalam perkembangan psikologis dan sosial seorang anak. Di usia ini, pencarian identitas, dorongan kemandirian, dan ketertarikan pada kelompok sebaya sering kali membuat mereka rentan terhadap perilaku bermasalah. Jawa Barat bukan pengecualian. Tawuran, bolos sekolah, dan pembangkangan terhadap orang tua atau guru menjadi isu yang terus berulang.

           Menanggapi fenomena ini, Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) memperkenalkan program pembinaan dengan pendekatan yang cukup unik: remaja bermasalah dikirim ke barak militer. Tujuan utamanya bukan sekadar menghukum, tetapi membentuk karakter dan menanamkan kedisiplinan. Namun pertanyaannya, apakah pendekatan ini hanya tentang penegakan disiplin, atau justru menyimpan potensi sebagai model rehabilitasi psikososial yang lebih dalam? Apakah ini sebenarnya "wilderness therapy" versi lokal?

           Wilderness therapy sendiri adalah pendekatan rehabilitasi remaja bermasalah yang menggunakan alam terbuka sebagai media terapi. Program ini biasa ditemukan di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada, dan menyasar remaja dengan masalah perilaku, kecanduan, atau trauma emosional. Ciri khasnya antara lain lingkungan alam liar yang terisolasi dari pengaruh negatif sosial, struktur kegiatan yang ketat dan disiplin, kegiatan reflektif dan fisik yang mendorong tanggung jawab dan ketahanan mental, serta keterlibatan aktif keluarga dalam proses terapi. Studi Bettmann et al. (2025) menegaskan bahwa keterlibatan pengasuh secara aktif adalah prediktor penting keberhasilan terapi ini.

           Program barak militer KDM meniru struktur kehidupan militer: bangun dini hari, olahraga, belajar, hingga kegiatan minat bakat dan pembinaan spiritual. Anak-anak tidak langsung dikirim tanpa persetujuan; orang tua perlu memberikan persetujuan terlebih dahulu, menandakan keterlibatan keluarga di awal program. Meski bernuansa militeristik, program ini bukan murni hukuman. Ada upaya menciptakan lingkungan pembinaan yang tertib dan produktif, dengan pengawasan yang ketat dan tujuan membentuk kembali karakter anak.

           Kedua pendekatan ini memiliki kesamaan penting, yaitu sama-sama mengisolasi remaja dari lingkungan toksik yang memicu perilaku negatif, menerapkan disiplin struktural yang membentuk kebiasaan baru, mendorong aktivitas fisik dan pembinaan karakter, serta membentuk identitas diri dan tanggung jawab personal. Namun wilderness therapy biasanya memiliki pendekatan terapeutik yang lebih eksplisit dan pendampingan psikolog klinis, yang belum sepenuhnya terlihat dalam program KDM.

           Salah satu aspek kritikal dalam wilderness therapy yang belum terlihat dalam program KDM adalah fase transisi dan reintegrasi. Setelah remaja menyelesaikan program dan kembali ke keluarga serta lingkungan asal, risiko untuk kembali ke pola lama sangat tinggi jika tidak ada sistem pendampingan lanjutan. Di sinilah pentingnya program pasca-pembinaan, pendampingan keluarga berkelanjutan, serta monitoring dan dukungan komunitas. Tanpa itu, potensi keberhasilan jangka panjang menjadi lemah. Ini juga yang menjadi catatan dari banyak studi terapi berbasis alam: transisi adalah fase paling rentan.

           Pendekatan struktural seperti barak militer untuk remaja bermasalah bukanlah hal yang baru di dunia. Namun pendekatan ini hanya akan berhasil jika dirancang bukan semata sebagai hukuman, melainkan sebagai ruang untuk membentuk ulang pola pikir, karakter, dan relasi sosial anak. Wilderness therapy telah membuktikan bahwa kombinasi antara lingkungan terkontrol, disiplin, dan keterlibatan emosional dapat menjadi formula efektif untuk menyelamatkan remaja dari jalur destruktif. Namun, untuk mencapai hasil maksimal, diperlukan sistem yang lengkap: dari pre-engagement, during therapy, hingga reintegration.

          Tentu, pendekatan seperti ini sangat mahal dan kompleks jika dilaksanakan tanpa dukungan negara. Beruntunglah masyarakat Jawa Barat memiliki pemimpin seperti Kang Dedi Mulyadi, yang berani mengambil langkah besar untuk masa depan anak-anak muda di provinsinya. Dengan penguatan fase transisi dan pendampingan berkelanjutan, program ini berpotensi menjadi model nasional untuk pembinaan remaja secara holistik, humanis, dan berdampak jangka panjang.

"Mendidik anak bermasalah bukan soal keras atau lunak, tapi soal keberanian untuk hadir, mendampingi, dan mengarahkan. Program KDM bisa menjadi harapan baru jika terus dikembangkan dengan hati dan ilmu."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun