Mohon tunggu...
Ecik Wijaya
Ecik Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Seperti sehelai daun yang memilih rebah dengan rela

Pecinta puisi, penggiat hidup

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menunggu Bunga Cahaya Bermekaran

11 Juli 2021   08:54 Diperbarui: 11 Juli 2021   08:56 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dihujani rindu bukan kepalang. Semacam magma yang keburu meledak. Mencari jalan berlabuh. Bara yang meletup-letup tanpa bisa lagi dibendung. Aku rindu. Pada lalu lalang keringat dibawah matahari tanpa takut. Dimana semua tangan merentang menggapai tuju di hari-hari. Tapi jeda membunuh. Semua kota mati,  pun banyak kepala harus redup cita-citanya. Bila sesaat, mungkin saja tak sampai tewas. Namun jeda terlampau lama untuk membiarkan perut dan kepala kosong. 

Sampai lapar mendera dan buntunya jalan Membuat garis kematian dipeta sungguh padat.  Aku rindu pada udara bebas yang direguk dalam nafas tanpa perlu kuatir memenjara. Tapi udara bebas tak lagi merdeka ditarik ke dada. Hela-hela nafas yang keras berselimut sekarat. Musim yang takkan sama lagi di depan mata. 

Aku dan kalian berjibaku dalam kolong rumah sendiri-sendiri. Saling tatap tanpa lagi pelukan hangat dari luar. Ada tawa tanpa perlu lagi gigi berbaris ditampakkan. Musim dedaunan luruh mengering dan anak-anak tak lagi bisa bermain air hujan semerdeka tahun-tahunlalu. Apakah kalian pun menyimpan bara yang sama?

Kita terperangkap oleh masa. Yang tak lagi memberi peluang mempermainkannya. Kali ini, ia memberi saat untuk berdiam, berdoa, dan bergerak dalam senyap. Meski tetap saja gelora berkehidupan masih berdetak. Cita-cita samar membayang bila ini dan itu di saat yang akan datang. Tapi meraba waktu kali ini, kita terkurung dalam hujan air mata dan kegelisahan.  

Sungguh dipaksa untuk kembali dimanusiakan.  Apakah waktu sedang panen raya?. Semua sedang menunggu dengan keresahan. Masihkah ada waktu tersisa untuk membalas rindu dan menyampaikannya. 

Doa-doa yang dimunajatkan sebagai penghilang kegelisahan dan cengkraman maut yang bertubi memukul keras. Semacam putik bunga yang tak kunjung bermekaran. 

Diujung sana dan sini, isak tangis luka membuat rindu lebih lagi untuk segera merdeka. Tapi waktu makin leluasa merantai tanpa jera. Kita sama-sama menunggu doa-doa menjadi bunga cahaya yang bermekaran, nanti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun