Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Capital Flows dan Capital Controls: Apa yang Harus Indonesia Lakukan?

4 Juni 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 6062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-tingkat reserve requirement naik menjadi 30 persen.

-Chile melindungi kredit perdagangan dan pinjaman yang terkait dengan FDI.

1995

Saham-saham Chile yang diperdagangkan di New York Stock Exchange (ADRs) dialihkan ke FDI dan obligasi.

Juni 1998

-reserve requirement diturunkan menjai 10 persen.

-Merubah FDI minimal harus bertahan di Chili selama 1 tahun (sebelumnya 3 tahun).

Ada beberapa langkah strategis yang ditempuh Chili untuk mengontrol capital inflows saat itu. Pertama, pada Juni 1991 semua modal yang masuk portfolio subject to 20 persen reserve deposit. Lalu pada Juli 1992, tingkat reserve requirement naik menjadi 30 persen. Pada saat itu, Chile juga melindungi kredit perdagangan dan pinjaman yang terkait dengan FDI. Pada tahun 1995, saham-saham Chile yang diperdagangkan di New York Stock Exchange (ADRs) dialihkan ke FDI dan obligasi. Kemudian pada Juni 1998 karena mendapat tekanan dari krisis yang terjadi di Asia Timur, reserve requirement diturunkan menjai 10 persen. Pada tahun yang sama, Chili juga menetapkan bahwa FDI minimal harus bertahan di Chili selama 1 tahun dimana peraturan sebelumnya adalah 3 tahun (Edwards, 1999).

Grafik 3.4 Real Exchange Rate Index di Chili: Data Bulanan, 1983-1998 (1990 = 100)

Sumber : Edwards (1999)

Ada empat kesimpulan Edwards pada studinya tentang capital controls di Chili. Pertama, walaupun capital controls dapat memengaruhi komposisi dari capital inflows, tetapi kebijakan ini tidak dapat mengurangi volume capital inflows ke Chili secara aggregat. Kedua, kontrol terhadap capital inflows tidak berdampak siginifikan pada real exchange rate. Ketiga, hanya ada dampak temporer capital controls terhadap interest rate domestik itu pun dampaknya sangat kecil. Keempat, kebijakan capital controls ini dapat mengurangi instabilitas di pasar saham tetapi tidak pada instabilitas interes rate.

Kasus di Thailand

Hasil studi Edison dan Reinhart (2000) tentang capital controls di Thailand dan Malaysia menyimpulkan bahwa Malaysia lebih efektif dibandingkan Thailand dalam melakukan capital controls saat krisis 1997 terjadi. Pada studinya tersebut, Edison dan Reinhart melakukan studi dengan data bulanan dengan mengamat beberapa variabel ekonomi terutama foreign exchange reserves dan capital flows. Selain itu, penelitian ini juga mengamati data harian dengan pengamatan dilakukan pada variabel-variabel ekonomi seperti interest rates, equity market returns, exchange rate changes,domestic-foreign interest rate differentials, and bid-ask spreads on foreign exchange.

Grafik 3.5 Beberapa Indikator Makroekonomi Thailand saat Krisis 1996-1998

Sumber : Edison dan Reinhart (2000).

Ada beberapa fenomena yang didapat dalam studi kali ini. Pertama, Thailand mengalami keadaan yang semakin memburuk. Hal ini dapat dilihat dari data bulanan foreign exchange reserves yang terus menurun. Kedua, interest rate terus meningkat selama periode krisis. Ketiga, Baht juga kehilangan sekitar setengah nilainya terhadap dolar. Ketiga fenomena ini menunjukkan bahwa capital controls di Thailand kurang dapat membantu Thailand keluar dari krisis. Salah satu alasannya adalah karena kebijakan atas reaksi terhadap krisis saat itu dilakukaan di tengah-tengah krisis terjadi, sedangkan Malaysia telah melakukan kebijakan antisipatif dan reaksioner tepat ketika krisis terjadi.

Sumber : Edison dan Reinhart (2000)

Selain itu, studi Edison dan Reinhart juga mencoba melihat dampak kebijakan capital controls terhadap perkembangan ekonomi di Thailand. Ada empat indikator ekonomi yang digunakan oleh Edisan dan Reinhart dalam menganalisis dampak kebijakan capital controls terhadap perekonomian Thailand, yaitu performa ekonomi, cadangan devisa luar negeri, suku bunga, dan nilai tukar.

Dari hasil studi tersebut didapatkan beberapa hasil. Hasil yang didapatkan ternyata variabel-variabel makroekonomi antara Thailand dan Malaysia saling berkebalikan. Pertama, produksi industri Thailand turun. Hal ini berbeda dengan produksi industri di Malyasia yang meningkat menjadi 8 persen sejak September 1998. Kedua, cadangan devisa Thailand juga menurun. Lagi-lagi kondisi ini berkebalikan dengan cadangan devisa milik Malaysia. Malaysia cadangan devisanya pada saat itu meningkat dari level $20 billion (Agustus 1998) menjadi $27 billion (April 1999).Ketiga, suku bunga di Thailand terus merangkak naik, sedangkan suku bunga Malaysia mengalami penurunan dibandingkan keadaan sebelum terjadinya krisis yaitu 7 persen (1997)menjadi 3 persen (1999). Keempat, nilai tukar mengalami depresiasi hingga kehilangan sekitar 50 persen nilainya terhadap dollar.



BAB IV

KESIMPULAN

Terjadinya perpindahan modal (capital flows) dari satu negara ke negara lain adalah fenomena yang biasa terjadi di era globalisasi seperti saat ini. Begitu pula dengan fenomena derasnya laju capital inflows di Indonesia seperti akhir-akhir ini. Besarnya modal asing ke Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Indonesia pernah mengalami hal yang serupa pada dekade 1990-an hingga akhir 1997. Perpindahan arus modal dari satu negara ke negara lain memiliki banyak tujuan, namun yang pasti fenomena ini akan selalu terjadi ketika para investor melihat ada peluang mendapatkan keuntungan lebih ketika dia menanamkan modalnya di suatu negara, dibandingkan negara lain. Posisi capital flows memang memiliki dua sisi mata pedang, di satu sisi dapat menimbulkan manfaat (investasi) tetapi di sisi lain dapat mengakibatkan instabilitas ekonomi yang bisa berujung pada krisis ekonomi. Untuk menanggulangi capital flows ini, negara-negara di dunia khususnya emerging markets telah menerapkan rangkaian kebijakan baik administrative maupun market-based policy dalam menahan laju capital inflows maupun capital outflows. Pengalaman krisis pada dekade 1990-an di Asia Tenggara (Malaysia dan Thailand) dan Amerika Latin (Chili) dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia untuk melakukan kebijakan capital controls yang tepat saat ini. Yang pasti teori monetary trilemma atau impossible trinity berlaku dimanapun. Hal ini juga telah dibuktikan secara empirik oleh Magud (2007) melalui studi literatur yang dia lakukan terhadap puluhan paper tentang capital controls di berbagai negara.



BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

Agosin, Manuel R and Ffrench-Davis, Ricardo. (2000). Managing Capital inflows in Chile. New York: Oxford University Press and United Nations University/World Institute for Development Economics Research (WIDER).

Bank Indonesia. (2010). Buku Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2010.

Bank Indonesia. (2011). Laporan Kebijakan Moneter Triwulan I Tahun 2011.

De Gregorio, Jos, Sebastian Edwards, and Rodrigo Valdes. (2000). Controls on Capital Inflows: Do They Work?. Journal of Development Economics, Vol. 3 No. 1, pp. 59-83.

Edison, Hali J. Dan Carmen M.Reinhart. (2000). Capital Controls During Financial Crises: The Case of Malaysia and Thailand. International Finance Discussions Papers.

Edwards, Sebastian. (1999). How Effective are controls on capital Inflows?An Evaluation of Chile Experience. Los Angeles: University of California and National Bureau of Economic Research.

Guitian, Manuel. (1999). Reality and the Logic of Capital Flow Liberalization, dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem Press.

Hernandez and Schmidt-Hebbel, Gallego, F. (1999). Capital Controls in Chile: Effective? Efficient?. Central Bank of Chile Working Paper.

Kaplan and Rodrik. (2002). Did Capital Controls in Malaysia Work?, National Bureau of Economics Research. University of Chicago Press.

Krugman, Paul dan Obstfeld. (2004). International Economics: Theories and Policies. Amerika Serikat: Addisoan-Weasley.

Laurens and Cardoso. (1998). Managing Capital Flows: Lessons from the Expience of Chile. IMF Working Paper.

Nicolas E. Magud, et al. (2007). Capital Control: Myth and Rality a Protfolio Approach to Capital Controls.

Sweeney, Richard. (1999). The Information Costs of Capital Controls, dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem Press.

Wihlborg, Clas dan Kalman Dezseri. (1999). Preconditions for Liberalization of Capital Flows, dalam dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem Press.

Williamson, John. (1999). Orthodoxy Is Right: Liberalize The Capital Account Last”, dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem PressAriyoshi, Akira at al (2000). Capital Controls: Country Experiences with Their Use and Liberalization. International Monetary Fund Occasional Paper.

[1] Wihlborg, Clas dan Kalman Dezseri. (1999). Preconditions for Liberalization of Capital Flows, dalam dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem Press.

[2]Williamson, John. (1999). Orthodoxy Is Right: Liberalize The Capital Account Last”, dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem Press.

[3] Guitian, Manuel. (1999). Reality and the Logic of Capital Flow Liberalization, dalam Capital Controls in Emerging Economies,Christine P. Ries dan Richard J. Sweeney ed. Colorado: Westviem Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun