Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Capital Flows dan Capital Controls: Apa yang Harus Indonesia Lakukan?

4 Juni 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 6062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malaysia

n.a.

n.a.

September 1998-Agustus 1999

1998:4-1999:3

Sumber : Kaplan dan Rodrik (2002)

Ketika Thailand, Indonesia, dan Malaysia memilih untuk meminta bantuan IMF untuk membangun kembali ekonomi yang porak-poranda lantaran krisis, Malaysia justru memilih jalannya sendiri. Thailand secara resmi meminta bantuan kepada IMF tertanggal 28 Juli 1997, Indonesia 8 Oktober 1997, sedangkan Korea Selatan 21 November 1997. Beberapa bulan kemudian IMF mulai menerapkan program-programnya ke Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Tepatnya Thailand tanggal 20 Agustus 1997, Indonesia 5 November 1997, dan Korea Selatan 4 Desember 1997. Program Bantuan IMF ini kira-kira dilakukan selama satu tahun, berakhir pada akhir tahun 1998.

Keputusan Malaysia untuk tidak meminta bantuan IMF memang di luar dugaan. Ada rumor berkembang motif utama Mahathir Muhammad, Perdana Menteri Malaysia saat itu, lebih memperhitungkan aspek politik. Pada saat itu, sedang terjadi rivalitas yang cukup kuat antara Mahathir dengan Anwar Ibrahim Wakil Perdana Menterinya. Kemudian momentum krisis finansial pada tahun 1997 ini dimanfaatkan oleh Mahathir untuk menyingkirkan rivalnya, Anwar Ibrahim. Akhirnya, pada tanggal 2 September 1998 Anwar dipecat.[6]

Dalam rangka menghadapi contagion effect dari krisis Thailand, pada awalnya Otoritas Malaysia menerapkan kebijakan ortodok yaitu meningkatkan suku bunga agar menjaga nilai tukar tidak terlalu jatuh. Kemudian pada bulan Desember 1997, Pemerintah memotong pengeluaran pemerintah hingga 18 persen. Terjadi perbedaan siginifikan antara Mahathir dan Anwar pada saat itu. Mahathir tidak terima oleh ulah spekulan yang bermain di pasar keuangan Malaysia dan Asia Tenggara pada umumnya, namun di sisi lain justru Anwar berkomitmen tidak melakukan kontrol terhadap modal asing. Kebijakan ortodok menaikkan suku bunga yang dilakukan oleh Malaysia gagal merespon gejolak di perekonomian. Konsumsi dan investasi turun drastis sebagai akibat dari derasnya modal keluar (capital outflows), tingginya suku bunga, dan ekspektasi masyarakat yang menurun atas perbaikan perekonomian. Inilah alasan utama Mahathir memecat Anwar dan tempatnya digantikan oleh Daim Zainuddin.

Dalam menentukan kebijakan capital controls, Pemerintah dan Otoritas setempat sangat mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap arus masuk, khususnya, Foreign Direct Investment (FDI) di masa depan. Hal ini dikarenakan perekonomian Malaysia sangat bergantung dari FDI. Oleh karena itu, Pemerintah Malaysia harus memastikan bahwa kebijakan capital controls yang dikeluarkan tidak kontraproduktif dengan dampak FDI atau neraca berjalan (current account) di masa yang akan datang.

Grafik 3.3 Financial market pressure index (January 1996=1)

Sumber : Kaplan dan Rodrik (2002)

Krisis di Malaysia memang tidak separah yang terjadi di Thailand atau Indonesia. Jika kita lihat financial market pressure index Malaysia pada saat itu memang cukup tinggi. Bahkan secara rata-rata index Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan Korea Selatan. Index ini sebenarnya juga mencerminkan indikator-indikator makroekonomi yang lain karena variabel-variabel ekonomi seperti interest rate, foreign exchange reserves, dan exchange rate masuk dalam perhitungan rumus index ini. Ide sederhana dari indeks ini adalah tekanan terhadap pasar keuangan harus direfleksikan melalui turunnya nilai tukar mata uang domestik, turunnya cadangan devisa nasional, atau meningkatnya suku bunga (interest rate) (grafik 3.3).

Grafik 3.3 adalah grafik yang menunjukkan bagaimana financial market pressure index di tiga negara, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Pada grafik tersebut jelas terlihat bahwa serangan para spekulan berbeda periodisasinya antara Malaysia dengan Thailand dan Korea Selatan. Thailand adalah korban pertama dari praktek spekulan di pasar uang. Puncaknya terjadi pada bulan September 1997. Beberapa bulan kemudian Korea mulai merasakan puncak dampak dari praktek merugikan para spekulan. Puncaknya krisis di Korea terjadi pada bulan January 1998. Setelah kedua negara tersebut, barulah Malaysia mengalami krisis. Puncak krisis yang dialami oleh Malaysia terjadi pada bulan Agustus 1998. Dari grafik kita juga dapat melihat bahwa sebenarnya krisis yang terjadi di Malaysia itu terjadi ketika Thailand dan Korea Selatan mulai keluar dari krisis secara perlahan.

Pada akhirnya, Kaplan dan Rodrik menyimpulkan beberapa hal terkait krisis yang terjadi pada tahun 1997. Pertama, Sebenarnya Malaysia tidak mengalami krisis ekonomi yang cukup parah dibandingkan Thailand atau Korea Selatan. Adapun krisis yang terjadi Malaysia kemungkinan disebabkan oleh ketidakpastian kondisi politik dalam negeri dimana terjadi rivalitas antara Mahathir Muhammad dengan Anwar Ibrahim. Kedua, Malaysia diuntungkan dengan kondisi eksternal yang mulai membaik ketika mereka mulai terkena krisis. Sebagaimana tadi telah kita lihat di grafik 3.3 bahwa Malaysia mengalami krisis terakhir jika dibandingkan oleh Thailand dan Korea Selatan, bahkan krisis di Malaysia terjadi ketika Thailand dan Korea Selatan mulai keluar dari krisis atau keadaan mulai membaik. Ketiga, kebijakan yang diambil oleh Malaysia pada dasarnya adalah kebijakan yang tidak jauh berbeda seperti apa yang dilakukan oleh IMF (IMF-style policies). Keempat, Malaysia sebenarnya memperburuk keadaannya dengan menunda penerapan atas kebijakan yang telah diambil.

Kasus di Chili

Laurens and Cardoso (1998)[7] hasil studinya tentang kasus capital control di Chile menunjukkan bahwa capital control cukup efektif mengatur jumlah volume capital inflows dalam jangka pendek, mendorong arus modal yang lebih bersifat jangka panjang tetapi Cili tidak dapat mengurangi tekanan apreasiasi nilai tukar, sedangkan studi Laurens dan Cardoso tidak membahas tentang independensi kebijakan moneternya. Studi ini kemudian dilengkapi oleh hasil studi-studi yang lain seperti yang dilakukan oleh Edwards (1999), Hernandez&Schimdt-Hebbel (1999)[8], atau De Gregorio, Edwards, Valdes (2000)[9], dan Agosin dan Ffrench-Davis (2000)[10] yang menyatakan bahwa kebijakan capital control di Chili membuat kebijakan moneter menjadi lebih independent.

Edwards (1999)[11] dalam studinya mencoba menganalisis seberapa efektif kebijakan capital cotrols yang diterapkan oleh Chile pada periode 1991-1998. Fokus pembahasan studi Edwards kali ini ada empat hal yaitu, pertama apakah capital controls telah memengaruhi komposisi dari arus modal di Chile. Kedua, apakah kebijakan ini berdampaka pada pergerakan mata uang real Chili. Ketiga, apakah kebijakan ini dapat meningkatakan independensi kebijakan moneter Chili. Keempat, apakah kebijakan ini membantu Chili dalam mengurangi tingkat instabilitas makroekonomi saat itu.

Tabel 3.2 Kebijakan-kebijakan Capital Controls di Chili

Tahun

Kebijakan

Juni 1991

modal yang masuk portfolio subject to 20 persen reserve deposit.

Juli 1992

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun