Kuluangkan saja meski bukan saat senggang, hadir di acara serba protokoler dan wah
pegiat kepala kampung, birokrat partikelir berlabel sarwa sosial yang acapkali didayagunakan dengan sanjungan "ujung tombak", dihimpun di auditorium mewah yang jarang dikunjungi, hatta sekali dalam setahun...
Sang penguasa kota pun berorasi narasi setelah terlambat satu jam dari yang direncana, membelah suasana penanda acara pun dibuka
Formalitas yang makan waktu, tenaga dan biaya demi satu pencapaian citra petahana dibalut pencerahan pemecahan atas segala problematika jutaan jiwa yang tak kunjung pupus, berujung impian penantian demi penantian
Jadi santapan biasa terkunyah di ujung akhir...
Retorika sang penguasa kota memang manis, teramat manis membuai jiwa penuh harap atas segudang beban menghimpit mendera jiwa lemah tak berdaya, penghuni alas piramida sang jelata karena sesungguhnya, tatkala kekuasaan telah tergenggam di tangan, tak kan sekali-sekali berpikir, bagaimana cara untuk melepaskannya, namun sebaliknya bagaimana cara untuk mempertahankannya dengan segala daya upaya...Â
Sekiranya kalbu bertutur iya, mengapa mulut berkata tidak?
Saat suara adzan dhuhur menggema dari perangkat teknologi canggih yang biasa kugenggam, kuputus beranjak dari tempat berbaurnya para pengagung retorika sang penguasa kota yang teramat manis bertutur cerita beraromakan menguatkan cengkeraman terhadap penghuni alas piramida, melalui para kepala pegiat kampung kota yang diharap sebagai kepanjangan tangan, menerjemahkan keinginannya...
"pertahankan saya" karena dari andalah saya menjadi penguasa, meski dengan malu-malu diungkapkan dengan ucap kata yang berlawanan dari yang sebenarnya...
(desember, hari kedua belas, dua nol satu delapan, saat hadir di pertemuan yang digelar walikota)