Mohon tunggu...
Djono W. Oesman
Djono W. Oesman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pemerhati masalah sosial

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

KDRT Kejora, antara Ada dan Tiada

8 Oktober 2022   11:35 Diperbarui: 8 Oktober 2022   11:36 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di situ korban didampingi dan diterapi pakar psikologi. Korban diberi saluran peluapan emosi jiwa. Menceritakan semua detil KDRT. Psikolog mendengarkan dengan cermat. Lantas psikolog memberi advis, sampai pendampingan.

Setelah pendampingan, keputusan terserah pada korban, apakah perkaranya diteruskan ke polisi, atau berhenti sampai di situ. Kalau ke polisi, otomatis pasutri bakal bercerai. Pelaku KDRT dihukum sangat berat.

Sebaliknya, kalau stop, korban kembali lagi ke suami. Serumah lagi. Dengan risiko, bisa terjadi KDRT baru, suatu saat kelak. Sebab, disimpulkan, mayoritas pelaku KDRT, mengulangi KDRT-nya, sepanjang hidup.

Di buku itu disebutkan, setelah korban melapor ke lembaga HCP, hasilnya bisa dua: Positif. Korban (isteri) merasa yakin bahwa pernikahan mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Maka, lapor polisi, yang otomatis mereka bercerai.

Hasil ke dua, negatif. Korban tidak melanjutkan perkara ke polisi. Dia menahan diri. Di saat yang sama, korban merasa hancur, ikut bersalah atas terjadinya KDRT, lalu balik lagi serumah bersama suami(pelaku KDRT).

Buku tersebut, memetakan problematika KDRT secara detil. Juga mengulas, mengapa pria tega jadi pelaku KDRT terhadap isteri, yang semula (sebelum pernikahan) ia cintai. Atau, suami masih cinta ke isteri, sekaligus selalu terjadi KDRT.

Buku itu memberikan wawasan tentang potensi manfaat atau kelemahan pengungkapan. Tujuannya kepada para profesional di lembaga HPC. Agar para profesional HPC memberikan nasihat terbaik buat para korban.

Robinson dan Spilsbury, di buku mereka itu memberikan titik awal yang penting untuk lebih memahami hambatan dan fasilitator pengungkapan bagi para isteri korban KDRT.

Robinson dan Spilsbury menulis: "Untuk mengatasi hambatan ini, kami melakukan tinjauan sistematis terbaru dari studi kualitatif yang menyelidiki pengalaman dan persepsi korban DV (Domestic Violence) tentang pengungkapan dalam pengaturan perawatan kesehatan."

Intinya: Tidak gampang. Bagi korban KDRT memperkarakan kekerasan yang mereka alami. Apalagi, bagi pasutri yang sudah punya anak.

Karena pelaku KDRT jika terbukti di pengadilan, hukumannya tidak ringan. Maksimal 15 tahun penjara. Atau setidaknya, antara 5 sampai 15 tahun penjara. Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Sebab, anak-anak itu setelah dewasa kelak, bakal tahu bahwa ayah mereka penjahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun