Mohon tunggu...
dwita setyowati
dwita setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - 121811433090

Gulajawa04.id

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Movie Going", Aktivitas Masyarakat Kota Atasi Penat

13 Juni 2020   02:03 Diperbarui: 15 Juni 2020   01:11 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Thinkstockphotos.com) via Kompas.com

Pada 2019, dua Bioskop baru kediri yaitu Cinema XXI di Ramayana dan CGV Cinemas di Kediri Mall hadir dan siap menyaingi Golden Theater sebagai pusat penghibur diri dari kepenatan masyarakat kota Kediri.

Masyarakat kota mempuanyai banyak aktivitas dalam menghibur diri salah satunya yaitu pergi menonton film.

Aktivitas dalam menghibur diri pada masyarakat kota terjadi akibat adanya kepenatan aktivitas lain dalam ruang kota seperti, aktivitas bekerja, aktivitas transportasi, kemacetan dan lainnya.

Mengutip dari web resmi kota Kediri yaitu Kediri.go.id pada tanggal 2 September 2019 bahwa kehadiran gedung bioskop baru di kota Kediri membuat kota semakin semarak dalam dunia perfilman. 

Kehadiran bioskop tersebut adalah opsi atau pilihan yang diberikan oleh investor luar. Pemberian opsi atau pilihan ini digunakan untuk mengatasi kepenatan masyarakat. Sebelum diresmikannya dua bioskop baru di kota Kediri hanya memiliki satu bioskop yaitu Golden Theater.

IKLAN PERDANA : Penayangan perdana dalam berbagai media sosial yang ada mengenai bioskop baru kota Kediri (foto: kedirikekin.com)
IKLAN PERDANA : Penayangan perdana dalam berbagai media sosial yang ada mengenai bioskop baru kota Kediri (foto: kedirikekin.com)
Menurut Heru Erwanto dalam jurnal Balai pelestarian nilai budaya Bandung dengan judul Bioskop Keliling Peranannya Dalam Memasyakatkan Film Nasional Dari Masa Ke Masa volume 6 (2014:288), aktivitas pergi menonton film atau biasa disebut dengan Movie Going muncul pada akhir abad ke-19. Banyak terjadi keajaiban di dunia dengan adanya berbagai penemuan ini.

Penemuan yang mempengaruhi adanya aktivitas pergi menonton film antara lain yaitu ditemukannya fotografi oleh Louis Daquere (Prancis) tahun 1839, phonograph yang dapat merekam suara oleh Thomas Alva Edinson tahun 1887, radio oleh C. Marconi pada tahun 1895 dan film oleh Louis dan Aguste Lumire (Prancis) pada tahun yang sama. Penemuan ini menyebar begitu cepat ke penjuru dunia termasuk penemuan film. 

Sejak pertunjukan pertama film yang diadakan di Grand Caf Boulevard des Capucines Paris (Prancis) pada tahun 1895, film mengalami penyebaran ke berbagai Negara seperti, Inggris (London) tahun 1896, Uni Soviet (St. Petersburg) tahun 1896, Itali pada tahun 1905 dan Negara lainnya.

Film pertama kali masuk ke Indonesia pada saat permerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1900. Lebih tepatnya lima tahun setelah bioskop pertama di dunia memulai pertunjukan film.

Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya iklan di surat kabar "Bintang Betawi" di Batavia pada tanggal 30 November 1900. 

Ketika itu antusias masyarakat di kota Batavia sangat banyak untuk menyaksikan film yang di putar oleh Scharwz. Scharwz menyajikan pertunjukan di dalam sebuah rumah di tanah Abang Kebonjae. Rumah tersebut nantinya akan berganti nama sebagai The Royal Bioscope. Adanya bioskop di kota Batavia ini kemudian, seiring berjalannya waktu, menyebar ke beberapa kota lainnya di wilayah Hindia Belanda. 

Pada tahun 1942 ketika pendudukan Jepang media film diketahui bahwa digunakan atau dialih fungsikan tidak hanya sebagai hiburan diri namun juga sebagai media propaganda oleh pemerintah Jepang. Dan menurut (Kurasawa, 1993: 238) pemerintah militer Jepang telah melakukan kontrol sepenuhnya atas dunia perfilman. 

Staf propaganda yang menyertai operasi militer, menyita seluruh perusahaan perfilman. Untuk melaksanakan kebijakan di bidang perfilman, Sendenbu pada bulan Oktober 1942 membentuk Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) yang dikepalai oleh Oya Soichi.

Akibat dari propaganda yang dilakukan oleh pemerintah Jepang film dan bioskop bisa menyebar hampir di beberapa kota kerasidenan saat itu.

Kegiatan pergi menonton film ini memunculkan buadaya kota yang tidak bisa ada di wilayah desa yaitu budaya konsumtif yang tinggi.

Ali Minanto, dalam tulisan Jurnal komunikasi Universitas Islam Indonesia dengan judul Kota, Ruang, dan Politik Keseharian: Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta volume 13 (2018: 42), menyatakan bahwa melalui ruang-ruang kesenangan yang dimiliki oleh kota seperti adanya pusat perbelanjaan, destinasi wisata, caf, resto, game center dan lainnya memberikan efek konsumsi yang tidak disadari oleh masyarakat kota. 

Salah satu ruang kesenangan kota yang dimaksudkan diatas adalah biskop. Bioskop di sini termasuk ke dalam ruang kesenangan kota tersebut yang dapat dibaurkan dengan identitas dan selera umum dari masyarakat kota sehingga menimbulkan masyarakat konsumtif. Kota dianggap sebagai tempat untuk mememenuhi kebutuhan baru yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.

Salah satu yang dianggap kebutuhan baru oleh masyarakat yaitu sebuah tontonan hiburan berupa film.

Menurut Andiwi Meifiliana di dalam jurnal komunikasi Universitas Islam Blitar dengan judul Strategi Bioskop Lokal Golden Theater Kediri Dalam Mempertahankan Eksistensi volume 4 (2015: 412) bahwa film merupakan bentuk ekspresi dari publik yang ditempatkan disuatu ruang publik berupa bioskop.

Bioskop sendiri dapat diartikan sebagai infrastruktur ruang kota yang mampu membangun sebuah ide-ide dan diskusi-diskusi publik dalam level tertentu.

Berbeda dengan kota Batavia, kota Kediri diikeahui dari Jatim Times pada tanggal 23 Oktober 2018 bahwa ada salah satu pernyataaan warga kelurahan Banjaran yang memiliki hobi pergi menonton film menyatakan bahwa ada 5 bioskop yang pernah Berjaya di kota Kediri. 

Bioskop-bioskop tersebut adalah bioskop Jaya, bioskop Garuda, bioskop kencana, bioskop Sentral dan bioskop Pagora. Dari beberapa bioskop tersebut bioskop yang paling populer adalah bioskop Jaya. 

Lima bioskop tersebut Berjaya di era akhir tahun 80-an hingga tahun 90-an, menurut Andiwi Meifiliana (2015: 413) masyarakat Kediri pernah mengalami ketergantungan dalam pergi menonton film terutama komoditi film Nasional pada dekade tahun 80-an. Budaya menonton film masyarakat Kediri saat itu sungguh luar biasa dan begitu kuat dalam mengapresiasi film.

Dunia perfilman di kota Kediri tidak selalu lancar dan mengalami keterpurukan. Keterpurukan industri perfilman nasional terjadi pada akhir tahun 1990. Kejadian ini membuat bioskop-bioskop yang tadi Berjaya mengalami kebangkrutan dan harus gulung tikar. 

Bioskop yang masih bertahan pada masa keterpurukan tersebut adalah Golden Theater. Golden Theater harus merangkak untuk mengatasi krisis yang melanda bahkan untuk menarik minat masyarakat pihak menejemennya mengadakan jumpa fans untuk meningkatkan antusiasme publik di Kediri dalam pergi menonton fim ke bioskop. 

Hal ini terbukti mampu meningkatkan pendapatan penjualan tiket di bioskop Golden Theater. Menurut Andiwi Meifiliana (2015: 414) bioskop Golden Theater mampu melewati keterpurukan dan bahkan bisa menambah cabang baru bioskop yaitu diwilayah Kabupaten Tulungagung.

Pada tahun 2019 Golden Theater kembali diuji dalam mempertahankan eksistensinya di mata masyarakat kota Kediri.

Mengutip Jawa Pos Radar Kediri, Kediri kota yang memiliki pendistribusian yang sangat bagus membuat para investor meliriknya. Salah satunya yaitu bioskop Cinema XXI yang tayang perdana pada 17 Mei 2019.

Bioskop ini siap menjadi kompetitor yang melegendaris yaitu Golden Theater. Kehadiran Theater baru tersebut menerima sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat yang ada di kota Kediri. 

Keberadaan kompetitor dalam industri film yang ada di kota Kediri kembali mengingatkan masyarakat untuk bernostalgia di era kejayaan lima bioskop yaitu bioskop Jaya, bioskop Garuda, bioskop kencana, bioskop Sentral dan bioskop Pagora. Dari beberapa bioskop tersebut bioskop yang paling populer adalah bioskop Jaya. 

Adanya fenomena ketertarikan para investor dari luar kota ini adanya ativitas masyarakat dalam ruang kota. Menurut Fiske (1995: 36) bahwa ruang kota diorientasikan menjadi space of enjoyment yang diartikan sebagai ruang kesenangan atau ruang bersenang-senang yang memberi harapan dan mimpi-mimpi kebahagiaan bagi penghuni ruang kota. 

Namun, kota kerap menampakkan wajahnya yang tidak bisa diduga oleh siapapun. Pada satu sisi, kota menawarkan mimpi, menjadi ruang magnetik yang bisa menarik siapa saja untuk datang dan bersemayam di dalamnya termasuk para investor bioskop namun, dalam sisi lain kota juga sebuah mesin penggerus segala hasrat dan imajinasi tentang keindahan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kemerdekaan yang diangankan oleh orang kebanyakan. 

Bahkan, kota bisa saja mencampakkan siapa saja yang tidak sanggup bersaing seperti yang terjadi pada industri perfilman untuk berebut "ruang kekuasaan". Kelompok berkuasa, para pemilik otoritas, menggunakan kekuasaannya untuk menata ruang-ruang kota sebagai sarana kontrol sosial.

Kemampuan bertahan dalam ruang kota dan kekalahan dalam menakhlukkan kota dibuktikan dengan masih berdirinya bioskop Golden Theater dan kebangkrutan dari bioskop yang pernah berjaya. Bioskop Golden Theater mampu bertahan sedangkan bioskop Kencana tidak mampu bertahan yang harus merelakan meninggalkan industri perfilman di kota Kediri. 

Ketidak mampuan bertahan bioskop kencana dan yang lainnya di kota Kediri dapat diindikasi karena pada setiap bioskop dulu memutar film-film yang berbeda dan satu bioskop hanya memutar film terbaru berdasarkan kawasan film itu dari asia, nasional, india dan campuran.

Dikutipd dari Kediri.go.id pada tanggal 24 Oktober 2018 bahwa lima bioskop ini memutar film-film yang berbeda kawasannya.

Berikut adalah klasifikasinya yaitu:

  • Jaya Bioskop merupakan bioskop yang dibuka di jalan Brawijaya Kota Kediri, dipanggil kantor polisi. Ini adalah teater terelit di kota Kediri di masanya. Bioskop Jaya ini masuk menjadi gerbang masuknya film-film baru di Kota Kediri.
  • Garuda merupakan bioskop yang terletak di Jalan Yosudarso, terletak di kawasan pecinan dekat klentheng di sisi timur Kali Brantas. Di zamannya termasuk bioskop elit di Kediri walau dari segmen yang lain. Bioskop ini lebih sering memutar film-film terbaru dari kawasan Asia.
  • Kencana merupakan bioskop yang di dibuka di Jalan Panglima Sudirman Kota Kediri, yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi Toko Ramayana. Film ini biasanya diputar seperti film India, film Mandarin, film remaja Indonesia.
  • Sentral merupakan bioskop yang terletak di Jalan Patimura Kota Kediri. Bioskop ini kelasnya selevel dengan Bioskop Kencana, walau terkenal sebagai bioskop-film India.
  • Pagora merupakan bioskop yang terletak diperkampungan di Kelurahan Setonopande Kota Kediri. Bioskop ini sering memutar film India.

Cinema XXI ini berdiri dalam gedung Kencana yang jika dlihat pada pernyataan diatas bahawa bioskop Kencana di tahun 80-an pernah mengalami kejayaan dan di tahun 90-an mengalami keterpurukan karena tidak mampu mengikuti ruang kota dan harus rela tersingkir dari industry perfilman di kota kediri.

Mampukah Cinema XXI bertahan atau bernasib sama dengan pendahulu gedung yang tidak bisa mengatasi keterpurukan di Kota Kediri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun