Oleh: Dwi Lestari Wiyono
Â
Menyerang dari arah barat. Menyerang dari arah timur.
"Milenia kita terkepung! Milenia ...!"
"Guru! Guru ...!"
***
Percikan langit memenuhi ruang angkasa. Dentuman meriam membuncah menutup mega memekakkan indera pendengaran.
Abimayu kita kalah. Abimayu pasukan perbatasan memberi kabar bahwa mereka telah kalah telak.
"Tarik mundur semua pasukan!"
"Pasukan satu bersiap! Kita akan lakukan serangan balasan!"
Â
Dada ini masih merasakan sakit. Dada ini masih bisa merasakan tajamnya hunusan senjatamu Milenia. Kau membunuhku hanya dengan satu gerakan. Secepat kilat kataku. Kau membunuhku hanya dengan sekelumit bahasa yang aku tidak mengerti makna, arti dari bahasa tersebut. Bahasa baru; bahasa yang baru pertama kali ku dengar. Kau membunuhku dan memutuskan rantai reinkarnasiku. Tak tahukah kau Milenia berapa lama aku menunggu kesempatan untuk dapat terlahir ke bumi. Tak tahukah. Tak tahukah kau Milenia.
***
Hujan deras mengguyur kota mungil dalam lentera kelam. Ini bukan dirinya. Ini bukan jiwanya. Ambilkan aku ramuannya. Jangan tunda lebih lama. Ikuti panduanku. Ikuti jarum perputaran waktuku. Kita mulai sesi pengobatan ini.
G ... u ...ruu.
Berikan aku kekuatan. Berikan aku perlindungan. Dukung aku dan tetap genggam tanganku meski tangan ini mudah sekali terlepas. Aku mohon. Genggam tangan rapuh ini.
***
Aku hidup untuk diriku. Aku hidup untuk orang yang kusayangi. Jangan renggut nyawaku meski aku memiliki seribu nyawa. Jangan ambil kehidupanku meski di matamu aku memiliki kesempatan hidup lebih baik darimu. Seorang kasatria prajurit yang pernah bertempur di medan pertempuran tidak akan menusuk lawannya dari balik kemudi; dari balik layar bertopeng kebajikan. Seorang kasatria prajurit yang pernah bertempur di medan pertempuran akan mengakui lawannya secara nyata. Akuilah bila aku lawanmu selalu satu langkah di depanmu. Akuilah bila aku lawanmu masih dapat melihat mentari secara penuh. Hidup ini milikku bukan milikmu. Akuilah.
Â