"Yah... mati memang sebuah kepastian," katanya sambil menyeringai kecil, seperti orang yang sudah berkali-kali kalah tapi belum mau menyerah. "Dan menurutku, pantas buat dicoba. Tapi, hidup yang semacam kotoran babi begini pun terlalu indah buat dilewatkan. Aneh, bukan?"
Dia tertawa kecil, getir, seperti sedang menertawakan lelucon yang tak lucu.
"Aku tak mau lagi memimpikan hal yang muluk-muluk," lanjutnya. "Tak mau lagi berharap pada apa pun dengan cara yang tolol dan berlebihan. Karena berharap itu candu. Harapan itu racun yang dibungkus pita emas. Dan memutuskan untuk berhenti berharap... rasanya seperti mencabut pisau yang sudah lama bersarang di dada. Sakit, tapi... bebas."
Aku menatapnya. "Kau pintar mengoceh juga, ya, ternyata?" gumamku sambil menyalakan sebatang rokok. Api menyala singkat. Asap mengepul.
"Aku tidak bodoh-bodoh amat. Kurasa kau baru saja menggabungkan Camus yang muak, Sartre yang jenuh, dan Nietzsche yang mabuk kekacauan. Jadi satu adonan yang bahkan iblis pun ogah menelannya."
Dia menatapku tajam. "Aku cuma muak menjadi manusia," desisnya. "Muak jadi makhluk yang terus-menerus dibohongi langit, dibohongi waktu, dibohongi dirinya sendiri. Lihatlah kita. Menyembah rutinitas. Mencintai ketakutan. Dan menyebutnya kehidupan."
Aku menyipitkan mata. "Kau bicara seperti dewa yang dipecat dari surga."
Dia mendekat. Nafasnya berat. "Atau mungkin aku cuma sisa dari dirimu yang kau lempar ke jurang bertahun-tahun lalu." Lanjutnya.Â
Aku terdiam. Jantungku memukul rusuk seperti orang yang ingin kabur dari rumahnya sendiri. Tanganku gemetar, tapi aku tetap hisap rokok itu. Dalam-dalam.
"Fana," ucapku akhirnya. "Maafkan aku. Aku harus bilang ini padamu. Aku mempercayaimu. Sungguh, aku mempercayaimu. Tapi aku ingin kau berhenti meledak-ledak seperti ini. Belajarlah untuk berpikir lebih tenang. Kita ini... kita sudah terlalu sering bertukar peran. Aku menjadi kamu. Kamu menjadi aku. Di masa lalu, di masa depan, di waktu-waktu ketika aku sendiri pun lupa siapa sebenarnya yang sedang bicara... Selamanya kita akan saling bertukar."
Dia tertawa keras. Tawa gila. "Kita? Tidak, Sayangku. Tidak ada kita. Yang ada hanya kau, dan kebusukan yang kau kubur dalam dirimu sendiri!"