Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik tentang "Kepalsuan" yang Mengguncang Publik

25 April 2025   09:38 Diperbarui: 25 April 2025   09:38 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era sekarang kepalsuan sudah tidak asing. Semua berawal dari ketidakpercayaan. Tipisnya kepercayaan membuat banyak orang menduga dan menafsirkan banyak hal dengan kepalsuan. Contohnya saja ijazah palsu yang ramai dibincangkan di media sosial.

Mengapa banyak orang begitu ngotot membongkar kepalsuan, salah satu alasannya adalah tipisnya ketidakpercayaan. Mengapa tidak percaya karena banyaknya kebohongan yang terekspos tidak mampu memberikan kenyamanan pada masyarakat. Orang-orang lebih mempercayai berita yang digaungkan berkali-kali, disuarakan oleh mereka yang pandai bicara, ditampilkan dalam pertemuan yang melibatkan intelektual, aktivis demokrasi dan mereka yang yakin merasa apa yang disuarakan adalah suara kebenaran.

Sudut Pandang tentang Kepalsuan

Berani mengatakan  ada kejanggalan atas pemilu, ketidakadilan pada hasil rekap suara hingga memunculkan suara-suara sumbang bahwa pemilu  telah secara TSM( terstruktur, Sistematis dan Masif dan meyakinkan ada kebohongan terhadap hasil suara, tidak lagi percaya bahwa kemenangan dan kekalahan itu biasa dalam berdemokrasi.

Kepalsuan adalah akumulasi dari kebohongan-kebohongan yang muncul di media. Menjadi tidak mudah menemukan kebenaran sejati karena munculnya banyak kasus yang tidak terselesaikan tuntas dan dibiarkan menggantung.  Banyak orang mencari jalannya sendiri atas ketidakpastian hukum dan lemahnya kontrol lembaga hukum, pemerintahan, legislatif karena akumulasi kepentingan, banyak kasus tidak  terselesaikan karena ada tangan-tangan tersembunyi yang tidak ingin skandal-skandalnya terekspos.

Media sekarang pun terbelah antara yang masih idealis memperjuangkan transparansi dan kejujuran investigasi,mengandalkan akurasi data,  bukan hanya sisi lain semata opini subyektif. Banyak media online maupun media mindstream yang hanya mencatut berita dari opini tulisan blogger, tidak benar-benar melakukan investigasi, peliputan sendiri sehingga munculnya berita hoaks, disertai data palsu karena sebuah gerakan kebencian yang terstruktur.

Berita clickbait, berita yang mengekspos hal-hal sensasional berpotensi viral lebih disukai. Gosip-gosip tentang selebritis, perselingkuhan publik figur, intrik-intrik keluarga penguasa menjadi konsumsi netizen untuk melancarkan komentar pedas, kadang kebablasan.

Tentang ijazah palsu yang dipersoalkan banyak orang di media sosial, memunculkan polemik berkepanjangan. Memalukan jika didengar negara lain. Banyak pegiat media sosial membahas  kepalsuan ijazah presiden ke-7 RI yaitu Joko Widodo. Banyak isu menyebutkan bahwa ijazah Jokowi palsu karena terlihat dari bentuk font, foto berkacamata dan wajah yang berbeda. Saat muda berkumis kok sekarang tidak terlihat.

Banyak netizen menduga bahwa apa yang ada di ijazah Jokowi itu tidak sesuai dengan temuan mereka sehingga meyakini palsu. Bahkan ada tokoh kampus yang mengaku almamaterpun begitu gigih mempertanyakan keaslian ijazah.

Ranah privat seorang publik figur atau mantan pucuk pimpinan negara dipertanyakan dengan banyak alasan, dikaitkan dengan kebijakan publik, utang-utang negara akibat kebijakan masa lalu

Ramainya isu ijazah palsu itu memberi indikasi bahwa masyarakat terbelah dalam arus kebenaran semu yang sengaja didengungkan oleh buzzer, juga kepalsuan-kepalsuan yang sebenarnya tidak meyakinkan sebagai produk palsu.

Sebab pasti ada data, ada jejak digital, jejak literasi yang menyatakan apakah misalnya ijazah itu asli atau aspal. Sementara di pihak lain ada yang begitu meyakini bahwa ijazah itu asli karena ada saksi, ada teman yang memberi testimoni, kampus yang sudah memberi keterangan sesuai data. Sementara polemik berkembang karena meskipun sudah diberi data masih tidak percaya sebelum pihak tertuduh dalam hal ini Jokowi menunjukkan ijazah aslinya pada publik.

Ketika netizen diberi kebebasan berpendapat, tiap orang bisa berpendapat dan beropini, namun terkadang sudah dijelaskan by data pun ternyata tidak mempan, selalu ada celah dan kelemahan lain yang dicari agar muncul persepsi pasti ada yang aneh, jangan jangan karena bansos, jangan-jangan mereka telah disuap sehingga sengaja melakukan kesaksian palsu.

Banyak netizen menggampangkan kasus dengan menyatakan gampang kalau ijazah itu palsu itu asli, cukup dilihatkan ke masyarakat. Terus ada yang mengatakan kalau tidak berani memperlihatkan ke publik berarti benar bahwa ijazah itu palsu. Karena itu banyak netizen secara banal membincangkan dengan nada sinis. Tidak lagi percaya pada intitutsi negara, lebih percaya pada media-media yang sejak semula rajin menyerang.

Netizen yang terbelah itu memunculkan isu tidak sedap, ada indikasi masyarakat memang sengaja diadu domba, sehingga negara Indonesia susah maju karena masyarakatnya tidak kompak, selalu ada pembelahan sehingga susah disatukan dalam satu tujuan untuk kemajuan negara.

Kepalsuan menjadi isu yang mudah diprovokasi, sekarang banyak orang bingung siapakah sebenarnya yang benar? Begitu banyaknya media menulis "seakan-akan mengolah berita dari investigasi, dari survey, dari pencarian data langsung dari sumbernya. Menggunakan kode etik dalam menayangan berita. Tetapi setelah ditelusuri banyak media ternyata palsu dalam hal investigasi, mereka hanya mencomot berita dari sumber-sumber media medsos. Mereka tidak benar-benar melakukan survey hanya mencopas beberapa media untuk dijadikan berita sensasional.

Semoga dugaan saya salah, opini saya bisa terbantahkan karena memang ketidakpercayaan itu mempengaruhi rasa penasaran, bisa menjadi positif bila pemencahannya melakukan survei langsung pada sumber berita. Roh media adalah netralitas, validitas dan bukan menulis yang berdasarkan katanya saja.

Semoga badai masalah tentang ijazah palsu segera berlalu. Masyarakat menjadi lebih dewasa dalam mencerna sebuah berita, tayangan video dan isu-isu yang beredar. Tidak langsung percaya, tidak langsung spontan melakukan bantahan ataupun pembelaan, namun mencoba mencari sumber valid yang lebih dipercaya agar tidak muncul kepalsuan-kepalsuan yang merugikan masyarakat awam dan buta literasi.

Kebijakan atau  wise, wisdom harus tetap menjadi landasan dalam menanggapi sebuah isu, Tidak didasarkan oleh kebencian namun didasarkan oleh sikap kritis yang menyertakan solusi positif agar terbebaskan dari polemik "Kepalsuan" yang memang disengaja agar masyarakat saling berperang komentar di media. Disetting agar selalu ramai, sebab tanpa masalah dunia rasanya sepi. Apa benar begitu? Salam damai selalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun