Di era sekarang kepalsuan sudah tidak asing. Semua berawal dari ketidakpercayaan. Tipisnya kepercayaan membuat banyak orang menduga dan menafsirkan banyak hal dengan kepalsuan. Contohnya saja ijazah palsu yang ramai dibincangkan di media sosial.
Mengapa banyak orang begitu ngotot membongkar kepalsuan, salah satu alasannya adalah tipisnya ketidakpercayaan. Mengapa tidak percaya karena banyaknya kebohongan yang terekspos tidak mampu memberikan kenyamanan pada masyarakat. Orang-orang lebih mempercayai berita yang digaungkan berkali-kali, disuarakan oleh mereka yang pandai bicara, ditampilkan dalam pertemuan yang melibatkan intelektual, aktivis demokrasi dan mereka yang yakin merasa apa yang disuarakan adalah suara kebenaran.
Sudut Pandang tentang Kepalsuan
Berani mengatakan  ada kejanggalan atas pemilu, ketidakadilan pada hasil rekap suara hingga memunculkan suara-suara sumbang bahwa pemilu  telah secara TSM( terstruktur, Sistematis dan Masif dan meyakinkan ada kebohongan terhadap hasil suara, tidak lagi percaya bahwa kemenangan dan kekalahan itu biasa dalam berdemokrasi.
Kepalsuan adalah akumulasi dari kebohongan-kebohongan yang muncul di media. Menjadi tidak mudah menemukan kebenaran sejati karena munculnya banyak kasus yang tidak terselesaikan tuntas dan dibiarkan menggantung.  Banyak orang mencari jalannya sendiri atas ketidakpastian hukum dan lemahnya kontrol lembaga hukum, pemerintahan, legislatif karena akumulasi kepentingan, banyak kasus tidak  terselesaikan karena ada tangan-tangan tersembunyi yang tidak ingin skandal-skandalnya terekspos.
Media sekarang pun terbelah antara yang masih idealis memperjuangkan transparansi dan kejujuran investigasi,mengandalkan akurasi data, Â bukan hanya sisi lain semata opini subyektif. Banyak media online maupun media mindstream yang hanya mencatut berita dari opini tulisan blogger, tidak benar-benar melakukan investigasi, peliputan sendiri sehingga munculnya berita hoaks, disertai data palsu karena sebuah gerakan kebencian yang terstruktur.
Berita clickbait, berita yang mengekspos hal-hal sensasional berpotensi viral lebih disukai. Gosip-gosip tentang selebritis, perselingkuhan publik figur, intrik-intrik keluarga penguasa menjadi konsumsi netizen untuk melancarkan komentar pedas, kadang kebablasan.
Tentang ijazah palsu yang dipersoalkan banyak orang di media sosial, memunculkan polemik berkepanjangan. Memalukan jika didengar negara lain. Banyak pegiat media sosial membahas  kepalsuan ijazah presiden ke-7 RI yaitu Joko Widodo. Banyak isu menyebutkan bahwa ijazah Jokowi palsu karena terlihat dari bentuk font, foto berkacamata dan wajah yang berbeda. Saat muda berkumis kok sekarang tidak terlihat.
Banyak netizen menduga bahwa apa yang ada di ijazah Jokowi itu tidak sesuai dengan temuan mereka sehingga meyakini palsu. Bahkan ada tokoh kampus yang mengaku almamaterpun begitu gigih mempertanyakan keaslian ijazah.
Ranah privat seorang publik figur atau mantan pucuk pimpinan negara dipertanyakan dengan banyak alasan, dikaitkan dengan kebijakan publik, utang-utang negara akibat kebijakan masa lalu
Ramainya isu ijazah palsu itu memberi indikasi bahwa masyarakat terbelah dalam arus kebenaran semu yang sengaja didengungkan oleh buzzer, juga kepalsuan-kepalsuan yang sebenarnya tidak meyakinkan sebagai produk palsu.
Sebab pasti ada data, ada jejak digital, jejak literasi yang menyatakan apakah misalnya ijazah itu asli atau aspal. Sementara di pihak lain ada yang begitu meyakini bahwa ijazah itu asli karena ada saksi, ada teman yang memberi testimoni, kampus yang sudah memberi keterangan sesuai data. Sementara polemik berkembang karena meskipun sudah diberi data masih tidak percaya sebelum pihak tertuduh dalam hal ini Jokowi menunjukkan ijazah aslinya pada publik.