Akhir-akhir ini ketika mengamati fenomena sosial, melihat Podcast, seminar, juga beberapa pendapat pengamat politik, pemerhati sosial politik dan aktifis yang hidup dalam lingkungan politik seperti menegasikan tulisan Pramoedya yang membahas tentang kesombongan orang pintar. Coba renungkan kata-kata PAT; kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai.
Tidak perlu disebut siapa tokoh pandai yang menganggap bodoh orang, banyak orang pandai pula yang terjebak dalam kekuasaan yang membuat nurani dan logikanya tumpul. Kepandaian banyak digunakan untuk merekayasa anggaran dan membuat perencanaan yang hanya menguntungkan dirinya, keluarganya dan lingkaran pertemanannya yang terkesan toxic.
Demikian banyak orang bodoh yang terjebak dalam rasa minder dan menganggap orang lain pandai. Rasa minder mematikan potensi diri dan menghambat untuk meluaskan wawasan dengan membaca, dan mengasah pikiran.
Penulis pernah membaca novel yang berlatar belakang keluarga Pramoedya (PAT) di Blora, memotret dan bercerita tentang gadis nelayan yang dijadikan selir bangsawan atau saudagar kaya di kota kecil yang terkenal dengan kualitas pohon jatinya, diperlakukan sebagai orang rendahan yang beda status sosialnya, kenyataan yang dipotretnya hadir menjadi budaya yang susah dihilangkan, bahkan mengakar menjadi perilaku turun temurun.
PAT memotret kejadian-kejadian di sekitarnya, menulis dengan kejujuran, tidak bersembunyi dalam kehidupan yang penuh kamuflase. Banyak perilaku aneh yang sudah membudaya di Indonesia, susahnya menutup peluang korupsi.
Hal yang salah kadang menjadi benar karena asumsi banyak orang diamini oleh media. Padahal menurut Pram harusnya tiap orang harus mempunyai prinsip, kemandirian.Â
Kesedihan, kesialan, ketidakberuntungan dan juga kesuksesan seseorang, cobaan penderitaan itu adalah bagian dari penggeblengan manusia. Karena jika ingin bahagia maka kehidupan harus seimbang.
Tuan. Barang siapa memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila.Barang siapa memandang pada penderitaanya saja, dia sakit.
Dari buku-buku kakek dari Aditya Prasstira, banyak dipelajari pelajaran hidup bahwa penderitaan adalah manusiawi, ia mendewasakan membuat manusia menjadi jauh lebih kuat. Buku-buku PAT mengingatkan manusia untuk selalu bisa berkompromi dengan penderitaan, menghadapi kehidupan bukan dengan kepura-puraan. Tekanan hidup akan membuat manusia lebih dewasa dan kuat.
Inspirasi Tulisannya yang Tak Lekang Oleh Zaman
Rupanya sudut pandang nasionalisme pengarang yang tahun ini genap 100 tahun begitu menakutkan oligarkhi seperti zaman orde baru. Kekuatan tulisannya mampu membuat penguasa setelah era Soekarno harus mengcounter tulisan-tulisan yang dihembuskan dengan menyamakan pemikiran marksisme, komunisme. Padahal kalau dibaca secara teliti dan cermat, tulisan Pram adalah representasi nasionalisme. Sebuah kebanggaan diri pada keragaman, kemerdekaan berpikir hingga melahirkan orang-orang yang berpikiran luas.
Pramoedya memberi banyak pencerahan pada dunia tulis menulis terutama sastra: Ada quote menarik sebagai penutup dari opini saya:Â Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Hemmm.Â
Pramoedya adalah aset bangsa, semestinya sastrawan yang banyak menderita di era orde baru itu mendapatkan penghargaan besar oleh negara sebagai inspirator dan penyemangat literasi yang membuat bangsa menjadi maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI