Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Narasi Kecurangan dan Kedewasaan Demokrasi

18 Februari 2024   06:00 Diperbarui: 18 Februari 2024   06:32 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu sudah usai dan dari perhitungan Quick Count sudah terpetakan siapa pemenang pilpres 2024, namun dinamika demokratisasi masyarakat terutama pendukung Paslon dan timnya yang tidak puas dengan hasil Pemilu merasa harus membentuk tim khusus untuk menyelidiki kecurangan. Apakah ada manfaatnya?

Mendorong Kedewasaan Berdemokrasi

Sepertinya watak kedewasaan berdemokrasi masyarakat perlu didorong lagi lebih maju. Sebab jika dibiarkan akan mengarah ke degradasi berbangsa dan bernegara. Yang panas itu sebetulnya di media sosial. Sebab seperti ada bumbu-bumbu ngeri-ngeri sedap yang dihembuskan agar kontestasi menjadi ricuh, karena ada sebagian orang berpendapat bahwa sesungguhnya ada kecurangan secara masif, terstruktur, terorganisir untuk mengarahkan pemilu pada satu putaran.

Sementara kalau kita pemilih menanggapi santai, sebab kalah dan menang itu biasa saja. Contoh saja secara nyata dalam keluarga penulis itu tidak satu suara dalam hal pilihan presiden. Ada yang memilih O1, O2, dan O3. kita bareng bersama ke TPS. Masalah pilihan itu serahkan pada masing masing pribadi. kalah menang itu sudah resiko. Toh ketika menyikapi QC meskipun beda pilihan, tidak ada perselisihan.

Sebetulnya masyarakat itu sudah dewasa dalam menanggapi pemilu, hanya framing media membuat paslon lain yang kalah sepertinya merasa tidak puas atas hasil yang katanya "aneh". Ada keberpihakan ada rekayasa dari pemerintah untuk memenangkan paslon tertentu. 

Muncul video kecurangan dengan menampilkan seseorang yang mencoblos puluhan gambar capres. pertanyaannya di mana? Khan perhitungan dan pengumpulan kertas data calon masuk ke kotak kemudian disaksikan oleh para saksi dari ketiga paslon dan juga Panwaslu dan pengamat independen. Setiap masuk ke TPS para petugas selalu menyarankan dan mewajibkan setiap pemilih harus mencelupkan jarinya di tinta setelah mencoblos. Lalu di mana letak kecurangan ketika data QC difoto, dikumpulkan melalui data akurat mesin pemrograman dan dikirim oleh relawan yang cenderung independen.

Peta kemenangan muncul ketika narasi-narasi buruk berseliweran untuk mencoba mengubah opini masyarakat. yang sehari sebelumnya sudah yakin dengan pilihannya. Ada juga pemilih yang pada detik terakhir pencoblosan masih bingung siapa yang dipilih. Pengaruh Dirty Vote yang menurut data ditonton lebih dari 13 juta juga tidak berpengaruh besar. 

Penggiringan opini curang itu seperti sudah membudaya dari pemilu ke pemilu. Adakah terpola pada Paslon untuk dengan gentle dan kesatria langsung mengakui kemenangan lawan setelah melihat penghitungan cepat.  

Yang kalah selalu mencari cara untuk membangun narasi bahwa ada  ada persekongkolan terstruktur supaya pemilu diarahkan ke paslon tertentu. Mereka seperti tidak percaya pada petugas KPPS, KPU yang sudah merancang agar pelaksanaan pemungutan suara berjalan lancar tanpa kendala. 

Betapa sedihnya sudah bekerja keras dari pagi-pagi buta hingga tengah malam bahkan ada yang sampai pagi untuk memilah, mendata kembali surat suara, dibacakan dihadapan saksi dan direkam hasil rekapannya. Pengamat dan pemantau lantas mengirim data per KPS untuk dijumlahkan dan disandingkan suaranya dengan KPS di seluruh pelosok Nusantara termasuk luar negeri.

Sikap Legowo Masih Susah Dipraktikkan

Sikap kesatria untuk menerima kekalahan dengan legowo itu yang belum dimiliki partai politik. Selalu ada narasi berulang dan pada akhirnya class actionnya tidak terbukti bisa mendongkrak suaranya secara signifikan. Malah banyak yang jumawa dan merasa bahwa seharusnya paslon mereka yang menang karena dinilai jujur, berintegritas, pintar, cerdas. Berarti mereka tidak percaya pada pilihan rakyat dong? Khan masyarakat yang memilih. Masyarakat sudah mendapat gambaran siapa yang mesti dipilih berdasarkan pola-pola pendekatan dari orang-orang terdekat/keluarga atau rekan-rekan mereka yang sering berdiskusi dalam memilih calon pemimpin. 

Apapun penggiringan opini di media sosial, yang menentukan tetaplah pemilih yang sudah menentukan sikap. Tidak akan goyah meskipun banyak tayangan yang berlalu lalang di media berusaha membangun narasi. Mencegah yang buruk berkuasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun