Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arogansi, Kejumawaan, dan Rasa Sakit Hati

17 November 2020   09:52 Diperbarui: 17 November 2020   10:06 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
susahnya mencegah Kerumunan dan arogansi lautan manusia (cnnindonesia.com)

Pemimpin yang kharismatik itu adalah orang yang tidak gila pujaan, pun mampu menjadi teladan bahwa semakin tinggi ilmu yang ia serap semakin merunduk ia dan semakin menghargai manusia sebagai pribadi dan sesama ciptaan Tuhan.

Apakah manusia sendiri yang berhak menghukum pelacur, berhak memangkas kebebasan berpendapat ketika tersinggung karena pemimpinnya dihina. 

Bahkan pemimpinnya sendiri merasa terlahir dari orang suci yang berhak memaki -- maki pelacur yang menjajakan tubuhnya karena tekanan hidup, atau karena kesengajaan diri menceburkan diri dari dunia yang dibenci sekaligus dirindukan oleh orang - orang yang kelebihan hasrat nafsu purba itu.

Entah aku sedang menyindir siapa, bisa jadi aku sedang menyindir diri sendiri sebagai manusia ternyata sangat susah melawan godaan. Yang nikmat itu menyenangkan namun eksesnya ternyata bisa menyakitkan dan memalukan. Tapi jauh lebih memalukan jika sudah salah namun malah melemparkan kesalahan kepada orang lain. 

Dalam peribahasa ada ungkapan lempar  batu sembunyi tangan. Mungkin kalau aku menjadi seorang pemimpin dengan jutaan pemuja bisa saja aku tiba -- tiba merasa berada dilangit tinggi, bisa melihat lautan orang berkerumun, bisa melihat betapa mereka memujaku dan aku merasa tersanjung dan kalap karena ternyata aku dielu- elukan banyak manusia yang membanjiri jalanan.

Aku tertawa terbahak - bahak, mabuk pujian, mabuk oleh banyaknya pujian, meskipun kata - kataku tidak lebih istimewa dari kyai tua yang berada dipucuk gunung yang mengabdikan diri menjadi penjaga akhlak, mencintai alam, mencintai bumi, mencintai murid - muridnya dengan balutan sebagai kyai tua yang sangat "humble". Ia menjadi garam bagi mereka yang kekurangan rasa, menjadi pemanis bagi makanan rohani yang rasanya hambar.

Kenikmatannya bukan karena ia dipuja, tetapi karena secara tidak sadar muridnya, santrinya  melihat contoh nyata dari revolusi akhlak yang banyak didengungkan dengan penuh arogansi. Semakin padi menguning, menua ia akan semakin merunduk. Semakin banyak ilmu manusia seharusnya semakin rendah hati, semakin menebarkan rasa damai orang- orang sekelilingnya.

Tapi kadang banyak pemimpin agama terjebak dalam politik praktis sehingga ia lebih senang dipuja dan dielu- elukan namun lupa bahwa seorang yang didaulat pemimpin agama itu adalah manusia pilihan yang hidupnya menginspirasi, menjadi juru damai, penutur yang mengayomi, menjadi perekat hubungan antar manusia dan antar agama yang memuja dan menjadikan Tuhan sebagai satu - satunya jalan keselamatan. Tidak ada agama satupun yang jelas - jelas mengajarkan untuk merusak fasilitas umum, merusak hubungan antar manusia.

Ah apakah aku terlalu bermimpi ya hidup dalam sebuah negara yang masyarakatnya sangat elok, saling menghargai, saling memberi semangat untuk menggaungkan upaya damai tanpa kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. 

Lebih indah lagi jika bisa menggerakkan masyarakat mencintai kebudayaan, mencinta seni sebagai cita rasa manusia dalam menghargai keindahan ciptaan Tuhan. 

Sebab suara suara merdu, lukisan - lukisan luar biasa indahnya, dan gerak tari begitu ritmis dan memukau adalah salah satu upaya mengobarkan rasa damai yang pasti dimiliki orang - orang yang berbudaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun