Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Maha Sakti Sang Penceramah

23 Agustus 2019   03:57 Diperbarui: 23 Agustus 2019   04:08 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan minta penceramah minta maaf, sebab sebagai penceramah dengan jam terbang tinggi ia akan lupa di mana ia bicara dan apa yang diceramahkan atau dikatakan, memangnya Kyai-kyai desa yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Mereka selalu ingat apa yang dikatakan kepada jemaahnya. Ia akan ingat betapa pohon, pohon, rumput- rumput juga mendengarnya, Maka mereka para kyai sederhana begitu memperhatikan kata- demi kata.

Penceramah dibayar tinggi untuk bercerita, dan berbicara, jutaan kata terlontar mungkin tidak sempat melakukan kontemplasi atas kata katanya yang pernah terucap. Mereka akan selalu pintar berkelit jika perkataannya dibantah dan diprotes, sebab penceramah sudah dibekali dengan taktik politik agar bisa membantah segala koreksi yang datang di dirinya, kecuali bisikan dari manager yang mengatur jadwal dan tema ceramahnya.

Kekuatan penceramah adalah kata- katanya yang menderas masuk dalam telinga pendengarnya. Dan jika pendengarnya iseng dan merekam ceramahnya itu sudah menjadi hak pendengarnya. Penceramah hanya menjawab entah jawabannya menyakiti yang kebetulan tidak mendengarnya atau bahkan menyakiti rumput- rumput yang kebetulan dengan terpaksa mendengar ceramahnya yang menyakitkan dirinya sebagai rumput yang terinjak.

Penceramah hanya bertanggungjawab pada tema yang dititipkan kepada umatnya yang barangkali kadang tidak sesuai dengan nuraninya. Ia tetap harus mempertahankan agar dapur tetap ngebul dan kalau perlu melakukan promosi dengan memajang gambar besar di pinggir jalan. Semakin banyak yang datang, semakin sukses penceramah.

Coba tanya satu persatu apa yang dikatakan dalam setiap ceramahnya. Ia tidak akan ingat, ia hanya ingat momentum yang luar biasa sehingga terekam dalam otaknya, kalau hanya kata- kata receh pasti tidak akan diingatnya.

Jangan paksa penceramah minta maaf, sebab jawabannya tentu sudah diduga, "Khotbahnya hanya untuk kalangan khusus, jika bocor dan menjadi viral itu bukan salah saya, itu salah yang menyebarkannya. Seharusnya ini ruang privasi yang hanya boleh diketahui oleh oleh kalangan sendiri."

Seperti seorang ayah yang suka ngobrol sendiri, nyanyi sendiri dan teriak- teriak sendiri di kamar mandi. Aib keluarga jangan disebarkan keluar, jika aib terbuka bukan salah ayah yang suka teriak tetapi yang menceritakan apa yang terjadi di ruang privasi itulah yang salah.

Sekarang kuping ada di mana- mana. Orang bebas merekam peristiwa privasi kalau tidak ketahuan. Media sosial mempunyai mata- mata yang akan segera membincangkan begitu momentumnya tepat, apalagi orang -- orang politik bisa memanfaatkan kisruh keluarga untuk senjata mengadu domba, Kehancuran bisa datang dari kata- kata yang terlontar. 

Peristiwa demo, rasis, dan gerakan- gerakan makar bermula dari kata- kata. Senjata yang paling tajam yang bisa mengiris luka, dan menyeruakkan dendam membara adalah kata- kata. Dan media sosial susah memfilternya, susah menyensornya.

Yang bisa hanyalah manusianya yang harus hati- hati melontarkan kata- kata, manusialah yang harus introspeksi untuk tidak gegabah menyebar luaskan berita yang belum tentu benar, kalau berita tidak berdasarkan fakta disebarkan berarti akan muncul fitnah, dari fitnah berkembang, kericuhan dan akhirnya meledak menjadi perang.

Di mana - mana penceramah selalu pandai berkata- kata. Sebab dengan kata- katanya itulah ia bisa hidup sejahtera, bisa pelesiran dan menambah jumlah istrinya. Ia harus menjaga penampilan dan mencari umat yang mau mendengarnya dengan takzim. Penceramah harus mempunyai senjata kata- kata. Jadi jika tiba tiba terlontar pertanyaan mengagetkan bisa menjawab dengan meyakinkan meskipun sebenarnya ia tidak tahu apakah jawabannya benar atau salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun