Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebudayaan Merangkul Manusia Menjadi Lebih Beradab dalam Beragama

4 Desember 2018   08:57 Diperbarui: 4 Desember 2018   09:05 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi memberikan sentuhan kelembutan pemeluk agama (www.hipwee.com)

Sejak kecil sebagai penganut agama minoritas (Katolik) saya bergaul dan berteman dengan teman-teman Muslim tidak sekalipun terlibat dalam pembicaraan agama. Tidak pernah menyinggung bahwa saya keluarga kafir bahkan mereka menghormati keluarga saya karena kebetulan latar belakang keluarga bapak dan ibu saya adalah guru.

Tetangga saya mayoritas adalah petani yang hanya mengenal ladang dan sawah serta adat budaya turun temurun jawa yang masih lestari. Kehidupan harmonis dalam relasi beragama. Upacara selamatan entah saat sebelum panen atau sebelum panen, memulai tanam padi. 

Upacara dilakukan dengan membacakan doa menurut Islam dengan percampuran budaya Jawa yang kental. Agama adalah perekat persatuan, saling beriring msekipun berbeda kepercayaan. 

Islam menampakkan wajah damai karena kami yang minoritas tetap bisa melaksanakan ibadah tanpa merasa takut. Bahkan sewaktu ecil saya malah lebih sering duduk, tidur di mushola. 

Sementara teman sedang berdoa saya tidur-tiduran di serambinya. Masjid adalah tempat di mana kami bercengkrama sebagaimana anak kecil yang masih sering suka bermain. Berdoa tetap rajin Sholat lima waktu dan bermain hampir sama possinya dengan belajar.

Tradisi Menampakkan Wajah Teduh

Rupanya agama yang menampakkan wajah teduh memberi harmoni bagi relasi kehidupan penduduknya. Kehidupan masa kecil kami indah karena hampir jarang ditemui demo-demo yang menggerakkan orang untuk membenci dan mencaci karena agama.

Doa meneduhkan dan melembutkan (dream.co.id)
Doa meneduhkan dan melembutkan (dream.co.id)
Para santri, tokoh-tokoh agama adalah orang yang tergembleng bathin dan jiwanya sehingga pendalaman agama bukan karena hapalan, melainkan tindakan. Praktek mencintai atau mengasihi serta menyatu dalam alam budaya setempat membuat agama seirama dengan senada dengan kebudayaan.

Hal itu saya yakini masih ada di pelosok- pelosok desa, karena nilai- nilai lokal itulah yang memberi kekayaan bathin. 

Benar asal agama wahyu semua dari Timur Tengah atau dunia barat, tetapi Indonesia tidak mengusung arus budaya asli untuk diusung seluruhnya dan mengubah wajah asli kebudayaan. Nusantara ini terlalu kaya dan terlalu sayang jika didorong untuk berubah dan menyesuaikan dengan kiblat agama.

Memang intrik, peperangan , perbedaan pendapat, pemberontakan akan selalu ada dalam setiap generasi. Tetapi jika akhirnya hampir semua pemeluk agama harus berpaling ke asal muasal agama bagaimana dengan keragaman budaya yang menjadi hal paling menarik bagi negara lain memandang Indonesia. 

Indonesia bukan Arab, bukan Turki, bukan Italia, bukan Eropa atau Amerika. Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman budaya yang tersebar  di sepanjang pulau dari Barat ke Timur Dari Sangihe sampai Talaud dari Pulau We sampai Jayapura.

Saya yakin jika sebuah daerah masih melestarikan budaya dan kuat memegang tradisi pergesekan karena agama bisa diminimalisir. Produk budaya adalah produk olah pikir di mana manusia menghargai alam , menghargai bathin dan menghargai orang lain. 

Mereka akan lebih peduli bukan hanya diri sendiri tetapi peduli juga dengan lingkungan karena alamlah yang memberi kekayaan bathin, kreatifitas dan kearifan lokal. Bukan berarti agama menyingkirkan harmoni dengan alam  tetapi ada beberapa paham yang salah menafsirkan ayat- ayat yang lebih cenderung progresif dan fanatik terhadap keberadaan kepercayaan lain hingga muncul pergesekan, kekerasan atas nama agama, pemaksaan kehendak ideologi luar yang memaksa masuk dalam ranah budaya setempat.

Indonesia Lebih Kaya dan Istimewa Mengapa Harus Berpaling Ke Budaya Lain?

Indonesia bukan Suriah, bukan Arab, Bukan Italia atau Jerman. Indonesia adalah pemilik gamelan yang hasil  karya, keahlian anggitannya dikagumi di dunia. 

Indonesia adalah pusat arsitektur di mana candi besar seperti Borobudur merupakan bukti bahwa gaung kecerdasan nenek moyang moncer dan diakui dunia. 

Indonesia adalah Nusantara yang pemandangan dan keramahannya sempat membuat decak kagum masyarakat dunia. Haruskah semuanya itu hilang lenyap hanya karena ingin mengusung satu ideologi, satu faham dan satu agama.

Bukan berarti Indonesia harus alergi dengan simbol simbol agama. Jika setiap agama berkembang tanpa merasa satu sama lain tersaingi bukannya lebih indah. Berlomba  dalam kebaikan itu tidak salah yang salah adalah jika ada perasaan dengki dan iri dan merasa harus berperang untuk membela agama. 

Padahal siapakah yang mengangkat senjata untuk memerangi agama. Ketakutan itu muncul dari diri pribadi yang tidak nyaman dengan orang lain yang berbeda kepercayaan.

Budaya Global Menggeser Pola Pikir Masyarakat

Sekarang di media sosial perang artikel, perang komentar memanaskan relasi antar agama. Sesama saudara bahkan dengan sesama agama sendiri saling menghujad karena beda sudut pandang. Pemicunya salah satunya karena pilihan politik. Fenomena perang ilmu dan kesombongan akhlak itu mengaburkan nilai- nilai ajaran agama sendiri yang intinya harus merunduk, rendah hati dan memaafkan. 

Jika karena agama orang- orang menjadi beringas, jalang dan dengan entengnya berkata kasar apa funsi agama sebenarnya. Kalau nasihat orang tua, pemuka agama yang sudah makan asam garam kehidupan dimentahkan hanya dengan tafsir -- tafsir, nukilan- nukilan dari ilmu yang diambil dari dinding media sosial. 

Muncul pemuka agama pop yang dengan cepat menjulang karena berkat media sosial, layar kaca, Seleb yang yang berubah menjadi pendakwah.

Bukan berarti agama selain Silam terjebak dalam budaya Pop. Jauh seblum fenomena Agamadan politik rekat berdampingan Kristen, Katholik sudah pernah mengalaminya.

 Agama terjebak dalam kepentingan politik praktis, tidak netral dan partisan. Akibatnya apa? Katholik pernah terjebak dalam masa kelam hingga muncul banyak cabang agama Kristen  sebagai reaksi atas campur tangan agama dalam politik praktis.

Agama mabuk kekuasaan, kekuasaan menggiring agama untuk campur tangan. Suasana campur aduk antara profan, sekuler  dan sakral itu melahirkan kebingungan. Muncul politik identitas, muncul politikus berlagak agamawan, dan agamawan terjebak untuk ikut dalam politik praktis. Fenomena itu sangat kental hadir dalam pemberitaan sekarang. Reuni Akbar, Kebaktian massal di lapangan dengan berteriak- teriak memuji dan memanggil- manggil Tuhan dengan berjngkrak- jingkrak.

Lambang- lambang ikut menyertai dan manusia amat bangga dengan identitas itu hingga muncul kotak- kotak, muncul pemisahan dengan sendirinya. Alangkah rindu alangkah kangennya ketika agama muncul sebagai senandung merdu penggerak ketenangan. 

Mendengarkan shalawat dengan riang dengan ditabuhi oleh musikus yang meskipun beda agama tetapi tetap mengiringi dengan sepenuh rasa dan jiwa karena esensi dendang lagunya satu muara yaitu pemujaan pada Yang Maha Pencipta.

Gamelan Simbol Keragamanan dan Harmoni

Seperti gamelan ada beragam jenis musik dari bonang, Slenthem, Saron, Gender, Gambang, Siter, Kenong, Gong, Kethuk, kecrek yang sama sama dibunyikan tetapi  tampak harmoni karena mereka berfungsi sesuai peran masing-masing, tidak saling menggilas tetapi saling mengisi kekurangan sehingga muncullah musik agung hasil dari berbagai instrument berbeda tetapi saling menguatkan saling mengisi.

belajar gamelan melatih kepekaan rasa, bathin dan kerjasama dalam harmoni (www.suaraekonomi.com)
belajar gamelan melatih kepekaan rasa, bathin dan kerjasama dalam harmoni (www.suaraekonomi.com)
Begitulah agama, kepercayaan, seharusnya saling menghormati, membawa misi kedamaian, misi cinta kasih. Tetapi ini mungkin mimpi dan angan penulis saja. Sekarang sesuai yang saya dengar, lihat dan berdasarkan bacaan , informasi media manusia masih terjebak dalam polarisasi yang memang sengaja dihembuskan untuk kepentingan politik. 

Saya sih berharap opini saya, analisa penulis itu salah. Masih banyak warga masyarakat yang mampu mempertahankan kewarasan dan mengembangkan budaya lokal untuk menguatkan identitas asli bangsa. Semoga. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun