"Dengarkan ya, le... beja-bejane wong urip, isiih luwih beja wong kang eling lan waspada..."
"Ah, simbah sok tahu... !!"
"Heh, kamu itu piye to!? Saiki jaman edan, le... wis tumeka ing wolak-waliking jaman... Kowe aja melu-melu ngedan!!!"
"Enggak, mbah... Aku masih waras, kok. Tenang aja."
Simbah sudah terlebih dulu menuduh Suleman keblinger. Sejak punya mobil Nissan keluaran terbaru, di mata simbah, Suleman banyak berubah. Barangkali simbah mengenang dirinya sendiri saat dulu seusia Suleman, ia masih menunggang kerbau sambil main seruling. Mirip apa yang terlukis di lukisan-lukisan anak gembala yang terpampang di rumah-rumah kuno itu. Wajar saja simbah kuatir. Sekaya-kayanya simbah, tak pernah merasakan kendaraan roda empat. Bahkan setiap kali diajak Suleman sekadar jalan-jalan, simbah selalu menolak, karena belum berangkat saja sudah pening dan mual mau muntah. Pernah ia terpaksa naik angkot saat mengunjungi Suleman di kota besar sebelah kampungnya. Simbah bersimbah keringat hampir pingsan karena ulah sopir yang berangasan mengemudikan angkot itu. Simbah trauma.
Sekalipun suspensi kendaraan roda empat memang empuk, namun bagi simbah, kendaraan kaki empat tetap yang paling nyaman. Kerbau. Dari kerbau itulah sebenarnya Suleman bisa seperti sekarang. Kerbau yang direlakan simbah untuk menyekolahkan Suleman, cucu kesayangannya.
"Aku tak ingin anak-cucuku hidupnya susah seperti simbah..." wejangnya kala itu.
"Mbah, cita-cita simbah kan sudah kesampaian. Sekarang aku sudah jadi orang, mbah... Sudah sukses. Ini juga berkat simbah. Lha kenapa to, simbah malah marah-marah."
"Kau harus membedakan mana marah mana kuatir, le... Ingat kamu itu masih muda."
"Kuatir kenapa to, mbah?"
"Simbah menjual kerbau dan sebidang sawah untuk membuatmu menjadi orang bener, orang sukses. Bukan orang yang keblinger, lali !! Bukan orang yang berduit lalu kemaki ra karuan genah'e..."