Mohon tunggu...
Dwi Argo
Dwi Argo Mohon Tunggu... -

sehari-hari menjadi pencari makna...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kendaraan Kaki Empat

8 Agustus 2011   05:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Oalah, mbah... siapa yang lali? Kula boten kesupen, mbah... Buktinya  menjelang lebaran kali ini saya pulang menjenguk simbah."

Sambil melirik beberapa gadis yang dibawa Suleman, simbah menurunkan  tensi dan desibel suaranya, "Lha perempuan-perepmuan itu sapa, le?"

Matanya gelisah.

"Mereka teman, mbah. Teman kantor. Orang kota memang dandanannya  kaya gitu, mbah."

"Tenanan cuma kancamu?"

Tiba-tiba seorang dari mereka bertukas karena tak sengaja mendengar  simbah bertanya, "Iya, mbah... kami teman Suleman. Teman kerja. Kami  tidka mudik tahun ini, jadi pengen ikut mas Suleman aja ke kampung."

"Oh, yowis kalo gitu. Tapi mbok ya ingat, ini kan bulan puasa. Jangan bikin  orang lain batal puasa."

Simbah hampir mual dan muntah, mirip seperti sensasi saat naik angkot itu,  ketika melihat gaya serta dandanan orang-orang kota yang dibawa  Suleman. Di mata simbah, wanita terhormat adalah seperti Siti atau Tuminah  yang tiap hari memakai kemben atau kebaya, bahkan jilbab. Yang tidak  neka-neka. Yang mengirim camilan atau nasi rames ke sawah ketika bapak  atau smbahnya mencangkul sawah. Melihat tangtop, kacamata besar, syal, dan celana super pendek, simbah jadi ingat adegan sinetron yang berujung  pada anak haram.

Sejak awal Suleman digadang-gadang simbah jadi orang sukses, namun  bener. Tidak sembarangan. Makanya simbah terus berdoa walau Suleman  tak dapat dijumpainya kecuali setahun sekali saat lebaran.Tahun ini Suleman berbeda. Ia membawa Nissan berisi gadis-gadis metropolitan. Hampir tiap  gadis menggenggam ponsel dan (atau) kapsul touch-screen, yang dalam  bahasa simbah adalah "tivi kecil".

Simbah tak punya televisi. Kalaupun ia melihat televisi, adalah ketika Minah,  keponakannya mengajaknya main ke rumahnya sesekali. Dan bagi Minah  yang adalah buruh cuci, sinetron adalah satu-satunya hiburan karena  suaminya berselingkuh tanpa pamit. Minah kecanduan kisah  perselingkuhan. Semakin ia menonton adegan selingkuh, semakin ia teringat   kang Madi. Semakin ia ingat kang Madi, bukannya ingin melupakan, ia  justru ingin terus mengingatnya. Ini kecanduan akut. Atau cara Minah  menghukum dirinya sendiri karena membawa aib keluarga.

Simbah tak ingin cerita Minah terulang pada Suleman. Simbah ingin, ketika  Suleman punya istri, Suleman jadi suami yang soleh. tidka neka-neka. Tidak  keblinger dengan wanita lain seperti di sejumlah sinetron yang mulai  meracuni pola pikir orang-orang kampung di mana simbah hidup. Simbah  juga telah melihat gadis-gadis seperti Siti dan Tuminah yang sholehah sudah  lenyap di kampungnya. Jangankan jilbab, lengan baju saja mereka tidak  pake. Setiap simbah menegur, alasan mereka adalah cuaca yang makin  panas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun