Mohon tunggu...
Dwi Argo
Dwi Argo Mohon Tunggu... -

sehari-hari menjadi pencari makna...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kendaraan Kaki Empat

8 Agustus 2011   05:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Alasan...!!! hati kalian saja yang panas....!!!" begitu biasanya simbah tambah  marah.

Suleman pulang membawa gadis-gadis mirip pemain sinetron. Bagi simbah  itu adalah trauma. Wajar simbah kuatir setengah mati.  Televisi memang etalase dunia artifisial. Ketika masyarakat (yang  kebanyakan berstatus sosial menengah ke bawah) disodori menu-menu  yang harus mereka pilih. Dengan modal pendidikan SD, SMP, SMA atau  sarjana apus-apus, masyarakat dituntut punya piranti untuk menyerap mana  yang baik untuk dimasukkan dalam memori otaknya. Ketika yang nyata  dan yang rekayasa begitu sulit dibedakan. Ketika gadis berkaca mata hitam  dan berbaju tanpa lengan atau bercelana ketat diberi label gadis kurang ajar  atau wanita nakal. Ketika mobil Nissan, Ferrari atau Jaguar diberi label  penjajah atau kapitalis.

"Mbah, tidak semua yang ditayangkan di televisi itu benar..."

"Iya, le... simbah hanya kuatir padamu."

"Oya, kamu sekarang kerja di mana? Katanya baru naik pangkat?"

"Aku kerja di KPI, mbah. Komisi Penyiaran Indonesia. Ya yang ngurusi  tayangan-tayangan televisi yang ndak bener itu, mbah. Biar televisi bisa  mencerdaskan orang-orang, mbah. Bukan membodohi atau  membodohkan."


"Kalo gitu, suruh pemain-pemain sinetron di televisi itu pake jilbab semua.  Atau paling tidak pake kebaya... Seperti teman-temanmu malam ini, pulang  tarawih kan dandanannya bagus, pake jilbab semua... "

Suleman hanya tersenyum nyengir sambil melirik rekan-rekannya.  Teman-temannya menggeleng-gelengkan kepala.

"Yowis, mbah... sekarang simbah istirahat dulu. Besok mau sahur pake apa?  Biar teman-teman yang masak."

"Iya mbah, mau makan apa besok?" sahut teman-teman Suleman.

Sambil beranjak ke kamarnya, memakai bajo koko oleh-oleh Suleman, dan  peci warna hijau tua pemberian pak haji sebelah rumah, simbah hanya  bilang, "Di dapur ada ikan wader dan sepat. Kemarin simbah mancing. Dimakan sama sambel trasi pasti maknyuzzz..." menirukan gaya pemancu  acara wisata kuliner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun