"Alasan...!!! hati kalian saja yang panas....!!!" begitu biasanya simbah tambah marah.
Suleman pulang membawa gadis-gadis mirip pemain sinetron. Bagi simbah itu adalah trauma. Wajar simbah kuatir setengah mati. Televisi memang etalase dunia artifisial. Ketika masyarakat (yang kebanyakan berstatus sosial menengah ke bawah) disodori menu-menu yang harus mereka pilih. Dengan modal pendidikan SD, SMP, SMA atau sarjana apus-apus, masyarakat dituntut punya piranti untuk menyerap mana yang baik untuk dimasukkan dalam memori otaknya. Ketika yang nyata dan yang rekayasa begitu sulit dibedakan. Ketika gadis berkaca mata hitam dan berbaju tanpa lengan atau bercelana ketat diberi label gadis kurang ajar atau wanita nakal. Ketika mobil Nissan, Ferrari atau Jaguar diberi label penjajah atau kapitalis.
"Mbah, tidak semua yang ditayangkan di televisi itu benar..."
"Iya, le... simbah hanya kuatir padamu."
"Oya, kamu sekarang kerja di mana? Katanya baru naik pangkat?"
"Aku kerja di KPI, mbah. Komisi Penyiaran Indonesia. Ya yang ngurusi tayangan-tayangan televisi yang ndak bener itu, mbah. Biar televisi bisa mencerdaskan orang-orang, mbah. Bukan membodohi atau membodohkan."
"Kalo gitu, suruh pemain-pemain sinetron di televisi itu pake jilbab semua. Atau paling tidak pake kebaya... Seperti teman-temanmu malam ini, pulang tarawih kan dandanannya bagus, pake jilbab semua... "
Suleman hanya tersenyum nyengir sambil melirik rekan-rekannya. Teman-temannya menggeleng-gelengkan kepala.
"Yowis, mbah... sekarang simbah istirahat dulu. Besok mau sahur pake apa? Biar teman-teman yang masak."
"Iya mbah, mau makan apa besok?" sahut teman-teman Suleman.
Sambil beranjak ke kamarnya, memakai bajo koko oleh-oleh Suleman, dan peci warna hijau tua pemberian pak haji sebelah rumah, simbah hanya bilang, "Di dapur ada ikan wader dan sepat. Kemarin simbah mancing. Dimakan sama sambel trasi pasti maknyuzzz..." menirukan gaya pemancu acara wisata kuliner.