"Oalah, mbah... siapa yang lali? Kula boten kesupen, mbah... Buktinya menjelang lebaran kali ini saya pulang menjenguk simbah."
Sambil melirik beberapa gadis yang dibawa Suleman, simbah menurunkan tensi dan desibel suaranya, "Lha perempuan-perepmuan itu sapa, le?"
Matanya gelisah.
"Mereka teman, mbah. Teman kantor. Orang kota memang dandanannya kaya gitu, mbah."
"Tenanan cuma kancamu?"
Tiba-tiba seorang dari mereka bertukas karena tak sengaja mendengar simbah bertanya, "Iya, mbah... kami teman Suleman. Teman kerja. Kami tidka mudik tahun ini, jadi pengen ikut mas Suleman aja ke kampung."
"Oh, yowis kalo gitu. Tapi mbok ya ingat, ini kan bulan puasa. Jangan bikin orang lain batal puasa."
Simbah hampir mual dan muntah, mirip seperti sensasi saat naik angkot itu, ketika melihat gaya serta dandanan orang-orang kota yang dibawa Suleman. Di mata simbah, wanita terhormat adalah seperti Siti atau Tuminah yang tiap hari memakai kemben atau kebaya, bahkan jilbab. Yang tidak neka-neka. Yang mengirim camilan atau nasi rames ke sawah ketika bapak atau smbahnya mencangkul sawah. Melihat tangtop, kacamata besar, syal, dan celana super pendek, simbah jadi ingat adegan sinetron yang berujung pada anak haram.
Sejak awal Suleman digadang-gadang simbah jadi orang sukses, namun bener. Tidak sembarangan. Makanya simbah terus berdoa walau Suleman tak dapat dijumpainya kecuali setahun sekali saat lebaran.Tahun ini Suleman berbeda. Ia membawa Nissan berisi gadis-gadis metropolitan. Hampir tiap gadis menggenggam ponsel dan (atau) kapsul touch-screen, yang dalam bahasa simbah adalah "tivi kecil".
Simbah tak punya televisi. Kalaupun ia melihat televisi, adalah ketika Minah, keponakannya mengajaknya main ke rumahnya sesekali. Dan bagi Minah yang adalah buruh cuci, sinetron adalah satu-satunya hiburan karena suaminya berselingkuh tanpa pamit. Minah kecanduan kisah perselingkuhan. Semakin ia menonton adegan selingkuh, semakin ia teringat  kang Madi. Semakin ia ingat kang Madi, bukannya ingin melupakan, ia justru ingin terus mengingatnya. Ini kecanduan akut. Atau cara Minah menghukum dirinya sendiri karena membawa aib keluarga.
Simbah tak ingin cerita Minah terulang pada Suleman. Simbah ingin, ketika Suleman punya istri, Suleman jadi suami yang soleh. tidka neka-neka. Tidak keblinger dengan wanita lain seperti di sejumlah sinetron yang mulai meracuni pola pikir orang-orang kampung di mana simbah hidup. Simbah juga telah melihat gadis-gadis seperti Siti dan Tuminah yang sholehah sudah lenyap di kampungnya. Jangankan jilbab, lengan baju saja mereka tidak pake. Setiap simbah menegur, alasan mereka adalah cuaca yang makin panas.