Pernahkah kita membayangkan, betapa pentingnya peran laboratorium dalam menentukan cepat atau lambatnya seseorang mendapat pertolongan medis? Di kota-kota besar, mungkin tak terasa. Tapi di banyak wilayah di Maluku Utara, kisahnya berbeda. Di sana, laboratorium kadang terasa seperti fasilitas pelengkap yang sunyi---padahal seharusnya jadi garda depan.
Cerita dari Desa: Wabah yang Tak Terdiagnosis
Tahun lalu, sebuah desa di Halmahera Selatan dikejutkan dengan banyak anak yang mengalami demam tinggi. Awalnya dikira demam biasa. Tapi gejalanya berlanjut: mata kuning, nyeri otot, bahkan ada yang kejang. Dugaan mengarah ke leptospirosis atau DBD. Sayangnya, tak ada satu pun fasilitas kesehatan terdekat yang bisa melakukan pemeriksaan laboratorium konfirmasi.
Sampel harus dikirim ke kota Ternate. Prosesnya makan waktu hampir seminggu. Ketika hasil keluar, dua anak sudah dirujuk dalam kondisi kritis. Selebihnya? Masih ditangani dengan pendekatan "dugaan terbaik" dari gejala klinis.
Ini bukan cerita langka. Di beberapa pulau lain seperti Morotai atau Taliabu, kasus serupa sering terjadi. Laboratorium ada, tapi minim alat. Ada alat, tapi tak ada SDM. Ada SDM, tapi reagen kosong. Dan semua itu berpulang pada satu kata: kesiapan.
Kenapa Ini Jadi Masalah?
Laboratorium bukan sekadar tempat tes darah. Ia adalah pusat pengambilan keputusan medis. Tanpa hasil lab, tenaga medis seperti berjalan dalam gelap. Tak tahu apakah ini malaria, demam tifoid, atau penyakit lain yang mirip-mirip. Di wilayah dengan risiko penyakit zoonosis seperti leptospirosis, toksoplasmosis, hingga hepatitis, keterlambatan diagnosis bisa berarti nyawa.
Sayangnya, di Maluku Utara, sistem laboratorium belum jadi prioritas utama. Banyak laboratorium Puskesmas hanya bisa melakukan pemeriksaan dasar. Untuk tes lebih lanjut, harus dirujuk ke rumah sakit atau laboratorium rujukan---yang jumlahnya terbatas dan aksesnya sulit, apalagi antar pulau.
Dampaknya? Lebih Luas dari yang Dibayangkan
Keterlambatan deteksi penyakit membuat penanganan jadi lambat, penyebaran makin luas, dan biaya pengobatan membengkak. Bahkan menurut data Dinkes Maluku Utara 2022, lebih dari sepertiga kasus infeksi dalam situasi Kejadian Luar Biasa (KLB) tidak terkonfirmasi secara laboratorium dalam lima hari pertama. Artinya, dokter dan perawat harus memutuskan pengobatan tanpa kepastian.
Ini bukan hanya soal fasilitas. Tapi soal nyawa, soal keadilan layanan kesehatan, dan soal hak masyarakat untuk mendapat penanganan yang cepat dan tepat.