Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Galau

15 November 2018   22:59 Diperbarui: 16 November 2018   09:27 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: qimono - pixabay

Ramah dan baik hati adalah dua kata sifat yang melekat dalam diri Tia. Di mana pun berada Tia tak segan membangun relasi dengan orang lain, bahkan yang belum dikenalnya. Tak heran dia sering menemukan kenalan baru di kereta api yang sering ditumpanginya bila pulang ke kampung halamannya, kota lumpia.

Suatu ketika dalam perjalanan dengan kereta api langganannya, Tia duduk sebangku dengan seorang pemuda sebayanya. Kebetulan bangku di depan mereka diputar balik. Jadilah dia dan pemuda tersebut duduk berhadapan dengan seorang bapak berusia sekitar 60-an. Bangku di sampingnya kosong sehingga si bapak duduk seorang diri.

Keramahan Tia membawanya dalam percakapan akrab dengan si pemuda tak lama setelah kereta meninggalkan stasiun Pasar Senen. Percakapan berawal dari basa-basi mengenai tujuan perjalanan, lalu berkembang hingga menanyakan asal-usul, pekerjaan, dan seterusnya. Ternyata keduanya sama-sama pernah kuliah di kota gudeg lalu merantau ke ibukota usai wisuda; kebetulan pekerjaan mereka pun sama-sama di bidang grafis. Tak heran bila keduanya langsung akrab dan asyik mengobrol tentang proyek ini-itu.

Anehnya setiap kali Tia dan pemuda itu saling bertanya-jawab, bapak di hadapan mereka selalu mengintip dari balik koran yang tengah dibacanya. Raut wajahnya masam dan tatapannya terkesan sinis. Tia merasa, si bapak tidak suka melihat keakrabannya dengan Anton--nama pemuda itu. Ketaksukaan si bapak semakin terlihat bila Tia dan Anton tertawa berderai karena topik lucu yang mereka obrolkan.

Untuk menghilangkan prasangka, Tia yang ramah pun sesekali mengajak si bapak terlibat dalam percakapan mereka. Namun, suasana justru semakin kacau, karena Anton tampak kurang suka. Alhasil, komentar antara si bapak dan Anton selalu menanggapi obrolan dengan nada dingin dan saling menyindir. Tia jadi bingung dan merasa tak enak hati.

Sambil bersiap hendak turun  Anton mengajak Tia bertukar nomor kontak, dan Tia pun merespons dengan baik. Sesampainya di stasiun kota Tegal Anton pun berpamitan. Keduanya saling melambai dan berjanji untuk bertemu bila kembali ke Jakarta.

Sesaat setelah Anton beranjak dari bangkunya, si bapak buru-buru mengajak Tia bicara. 

"Nak, hati-hati! Jangan mudah percaya dengan pemuda macam dia," kata si bapak. Sambil berujar dia melirik ke luar jendela ke arah peron mencari-cari sosok Anton.

"Lho kenapa Pak?" tanya Tia keheranan, sementara dari ekor mata dilihatnya Anton yang baru turun masih sibuk melambai sembari membereskan bawaannya.

"Lihat saja! Gayanya seperti berandalan begitu. Rambut gondrong, celana belel, dan sorot matanya juga liar! Jangan-jangan dia punya niat jahat," jawab si Bapak bernada emosi.

Tia mengangguk-angguk sebagai tanda penghargaan, meskipun tampak kurang sepaham dengan ucapan si bapak. Belum sempat memberi tanggapan atas nasihat si bapak, ponsel Tia berbunyi. Ada pesan Whatsapp masuk dari nomor Anton yang belum lama disimpannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun