"Saya malu Ustaz, saya sudah diusir dari kampung. Tak mungkin Ibu saya mau menerima anaknya yang berlumur dosa ini."
"Tidak ada satu pun di dunia ini, seorang ibu yang tega mengusir anaknya sendiri. Meski anaknya pembuat dosa besar sekali pun," tegas ustaz lagi.
"Mintalah maaf ke pangkuannya. Temuilah ia setelah kau menghirup udara bebas."
***
Bus melaju semakin kencang. Menembus sunyi dan gelap. Suara takbir sayup-sayup menembus celah hutan pohon pinus yang berjejer di kiri kanan jalan. Menjadi penghias terbing-tebing curam. Â Lantunan takbir terkadang hilang diterpa angin. Udara kian beku dan dingin.
Di sebuah kelokan yang jalannya menurun, sang sopir tak dapat mengendalikan bus. Ia terus berusaha mengendalikan laju kendaraan yang berjubel penumpang tersebut. Orang-orang yang sedang bermimpi untuk bertemu sanak keluarganya termasuk lelaki bertato yang air matanya terus meleleh mendengar lantunan takbir.
Sayup-sayup timbul tenggelam. Ia melihat wajah ibunya yang keriput menyambut di depan pintu rumah biliknya. Wanita yang ia rindukan itu mengenakan kain mukena putih menebar senyum di antara air bening seperti sungai menyusuri celah-celah kulitnya yang cokelat dan kering. Lalu menyusuri kedua ujung bibirnya yang bergetar. Air bening itu rebah ke tanah di depan rumah.
Bus melaju tak terkendalikan. Rem blong tak dapat dihindari. Bus masuk ke jurang yang dalam. Tiada jerit dan tangis. Semua sunyi setelah dentuman keras. Hanya suara takbir yang terus mengalun. Lelaki itu tersenyum dalam sunyi mengusap air mata ibunya. []
Cianjur, 27 Ramadan 1440-H/ 1 Juni 2019