Diketahui, pihak pengamanan juga telah menyiakan beberapa "jurus" untuk mengantisipasi aksi demonstrasi tidak berujung anarkis. Selain melakukan beberapa rekayasa lalu lintas, pihak kepolisian juga berupaya memusatkan massa aksi di area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Selain itu, dialnsir dari portal berita CNN Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga dikabarkan tengah menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) yang akan mengatur tahapan pemblokiran media sosial.
Lalu kenapa aksi penolakan UU Cipta Kerja bisa bertahan lama dibandingkan penolakan-penolakan sebelumnya? Sebenarnya, ada tiga alasan mendasar mengapa protes rakyat terhadap penolakan UU Cipta Kerja hari ini seakan tidak ada habisnya. Sudah berjalan dua minggu, tapi aksi penolakan terus terjadi, semakin membesar, dan hampir terjadi di seluruh daerah di nusantara.
Pertama, seperti yang dijelaskan di awal, keresahan publik terhadap pemerintah berkuasa pasca demo besar penolakan RKUHP dan revisi UU KPK ibarat api di dalam sekam. Keresahan yang menumpuk inilah yang membuat sekam tanah liat ini menjadi pecah, ternganga, dan api menyambar kesana-kemari.
Apalagi, selama pandemi berbagai persoalan menyeruak kepermukaan. Strategi work from home (WFH) membuat banyak masyarakat lebih melek dengan informasi dan perkembangan yang ada. Mulai dari sengkarut penanganan pandemi, kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversi, tidak satu nafasnya implementasi kebijakan, hingga tidak terealisasinya target pertumbuhan ekonomi Indonesia dan bahkan menyandang status resesi.
Kedua, tanggapan pemerintah atas penolakan UU Cipta Kerja tidak menyentuh persoalan dasar. Selain tuduhan Tenaga Ahli KSP Ali Mochtar Ngabalin yang mengatakan para pendemo sebagai "sampah demokrasi", reaksi pemerintah terhadap tuntutan massa aksi juga turut memperkeruh suasana. Contohnya reaksi yang ditunjukkan oleh Menkominfo Johnny G Plate yang seolah mengesankan pemerintahan Jokowi diktator dan bertangan besi. Dalam kesempatan di acara Mata Najwa (14/10/2019), Johnny menanggapi beberapa alasan aktivis dan buruh menolak UU Cipta Kerja dengan mengatakan "KALAU PEMERINTAH SUDAH BILANG HOAKS, YA HOAKS".
Selain itu, pemerintah yang terkesan menitikberatkan persoalan antara permasalahan ekonomi dan investasi merupakan kesalahan dalam memahami kehendak rakyat. Penolakan terhadap UU Cipta Kerja tak hanya sebatas memperjuangkan hak buruh dan menolak investasi. Jauh lebih dalam, penolakan atas UU Cipta Kerja juga menyorot adanya indikasi cacat prosedur dalam pembuatan/pengesahannya, adanya beberapa pasal yang dianggap dapat memperparah kerusakan lingkungan, dan juga pasal-pasal yang dianggap dapat "menghilangkan" hak masyarakat adat yang diakui oleh pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 akibat sentralisasi kebijakan.
Terakhir, alasan yang membuat demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja bertahan dalam jangka waktu yang lama adalah adanya permasalahan "ketimpangan" keadilan yang dirasakan rakyat Indonesia. Dalam konteks state dan demokrasi, bapak bangsa Ir. Soekarno pernah mengingatkan, "Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat". Artinya, rakyat hari ini merasa bahwa kedaulatan tertinggi yang katanya berada di tangan rakyat sudah tak lagi menjadi acuan.
Tiga hal inilah yang harusnya menjadi landasan pemerintah dalam menuntaskan keresahan publik. Ruang-ruang dialog harus dibuka selebar-lebarnya. Pemerintah tak boleh "mengukuhkan" ego bahwa setiap kebijakan adalah yang terbaik untuk rakyat. Karena, Indonesia terbentuk bukan hanya berlandaskan konsep negara yang memiliki pemerintahan, rakyat, dan daerah administratif. Jauh lebih khidmat, Indonesia terbentuk karena adanya kesepakatan kebangsaan untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan pembukaan UUD 1945.